Reformasi Pelayanan Publik dan Teknologi Menghasilkan Layanan yang Cepat, Pasti, Aksesibel, dan Inklusif

Rabu, 17 Dec 2025 17:59
Wakil Menteri PANRB Purwadi Arianto menyatakan bahwa reformasi pelayanan publik yang didukung teknologi tepat akan menghasilkan layanan yang cepat, pasti, mudah diakses, dan inklusif. Istimewa

NARASINETWORK.COM - Reformasi pelayanan publik yang didukung oleh pemanfaatan teknologi yang tepat akan menghasilkan layanan yang lebih cepat, pasti, mudah diakses, serta inklusif bagi seluruh masyarakat. Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Purwadi Arianto menyatakan bahwa inovasi pelayanan publik menjadi salah satu mesin percepatan transformasi birokrasi di Indonesia.

“Inovasi bukan sekadar ide baru, tetapi cara untuk memotong proses yang berbelit, meningkatkan kepastian layanan, serta menghadirkan negara secara lebih dekat dan lebih manusiawi bagi masyarakat,” ujarnya dalam acara Diseminasi Praktik Baik Pelayanan Publik dengan tema “Menyebarkan Inovasi, Menguatkan Sinergi, dan Menggerakkan Inklusi” yang diadakan di Jakarta pada hari Selasa kemarin (16/12/2025).

Purwadi menjelaskan bahwa kebutuhan masyarakat yang terus berkembang dan dinamika perkembangan global membawa pergeseran signifikan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pelayanan saat ini dituntut untuk semakin berorientasi ke masa depan, dengan karakteristik yang digital, inovatif, proaktif, terpersonalisasi, berbasis data, serta melibatkan masyarakat secara aktif dalam setiap tahap proses.

“Pergeseran inilah yang mendorong transformasi menuju pelayanan publik yang lebih humanis, dirancang mengikuti siklus hidup masyarakat, tersedia secara omni-channel, dan didukung oleh umpan balik berkelanjutan,” ungkap Purwadi.

Menurutnya, inovasi pelayanan publik merupakan cara bagi negara untuk menghadirkan layanan yang lebih dekat dengan masyarakat, lebih cepat dalam pelaksanaannya, dan lebih relevan dengan kebutuhan aktual yang ada di lapangan. Purwadi menekankan bahwa inovasi tidak hanya bertujuan untuk melahirkan ide baru semata, tetapi harus diarahkan untuk menjadi solusi nyata yang memberikan dampak langsung dan positif bagi kehidupan masyarakat.

“Karena itu, inovasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari transformasi pelayanan publik, agar layanan yang kita bangun semakin inklusif, adaptif, dan berkelanjutan,” tuturnya.

Purwadi menambahkan bahwa inovasi pelayanan publik saat ini bukan lagi sebagai elemen pelengkap, tetapi telah menjadi bagian penting dari cara birokrasi menjawab kebutuhan masyarakat secara lebih relevan, efektif, dan berdampak luas. Untuk itu, pembinaan inovasi perlu diarahkan tidak hanya pada tahap penciptaan ide, tetapi juga mencakup proses pengembangan, pelembagaan, dan penyebarluasan praktik baik agar manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat secara lebih luas.

Lebih jauh, Purwadi menyampaikan bahwa pelayanan publik harus lebih peka terhadap keberagaman kebutuhan yang ada di kalangan masyarakat. Inklusivitas dalam pelayanan tidak hanya berkaitan dengan penyediaan akses fisik yang memadai, tetapi juga mencakup upaya untuk menghadirkan rasa aman bagi setiap pengguna layanan, informasi yang mudah dipahami, komunikasi yang ramah dan jelas, serta aparatur yang memiliki empati dan kompetensi khusus dalam melayani kelompok rentan.

Terkait praktik baik dalam pelayanan publik, Purwadi menekankan perlunya menjaga kelangsungannya agar tidak bergantung pada figur tertentu atau momentum acara semata. Standarisasi praktik baik memastikan bahwa layanan yang dibangun memiliki arah yang jelas, dapat diukur kualitasnya, dan mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.

“Keterlibatan masyarakat dalam proses ini menjadi kunci agar standar yang ditetapkan benar-benar mencerminkan kebutuhan riil di lapangan,” jelasnya.

Sebagai langkah prioritas untuk mengarahkan kebijakan dari praktik baik menuju perubahan yang berkelanjutan, Purwadi mengemukakan tiga pengungkit utama yang dapat dilakukan. Pertama, mendorong replikasi dan perluasan dampak praktik baik pelayanan publik agar inovasi yang berhasil di satu instansi tidak berhenti pada tingkat lokal, tetapi dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat di berbagai wilayah.

Kedua, melembagakan hasil inovasi ke dalam standar pelayanan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) sehingga praktik baik tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem yang berkelanjutan, tidak tergantung pada waktu dan pergantian kepemimpinan. Ketiga, memperkuat kolaborasi dan pembelajaran bersama lintas instansi pemerintah untuk membangun ekosistem pelayanan publik yang adaptif dan responsif terhadap perubahan.

Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian PANRB Otok Kuswandaru menjelaskan bahwa kegiatan diseminasi ini dilaksanakan dengan tujuan memastikan bahwa praktik terbaik pelayanan publik yang dihasilkan dari Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) Tahun 2025 khususnya 28 inovasi yang mendapatkan penghargaan Outstanding Public Service Innovations (OPSI) tidak berhenti pada tahap apresiasi dan pengakuan semata, tetapi dapat memberikan dampak yang lebih luas melalui pemanfaatan, pengembangan, dan penerapan oleh instansi pemerintah lainnya.

Selain itu, dalam kegiatan tersebut juga dilakukan diseminasi atas praktik baik penyelenggaraan inklusivitas yang difokuskan pada sektor kesehatan, pendidikan, dan transportasi. “Ketiga sektor tersebut memiliki tingkat interaksi tertinggi dengan masyarakat serta menuntut penguatan koordinasi lintas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah guna mendorong perubahan paradigma pembangunan yang berorientasi pada inklusivitas,” ungkapnya.

Acara ini menghadirkan sejumlah narasumber ahli dalam bidangnya. Pada sesi pertama, Gubernur Jawa Tengah Komjen Pol (Purn) Ahmad Luthfi menjelaskan pandangannya terkait pelayanan publik yang berkualitas. Menurutnya, setiap pihak yang memiliki fungsi melayani masyarakat harus menjunjung prinsip kesetaraan.

“Siapun yang mempunyai unsur melayani masyarakat, dia tidak boleh menjadi ‘ndoro’, dia harus setara. Baik bupati, gubernur, wagub, asisten, siapapun di birokrasi kita, dia harus setara dalam rangka memberikan suatu pelayanan kepada masyarakat. Itu adalah hukum alam, sehingga kepercayaan masyarakat akan kita dapat, karena kita adalah birokrasi melayani,” ujarnya.

Luthfi menambahkan bahwa pelayanan publik harus selalu berorientasi pada subyeknya, yakni manusia. “Sebaik apapun fitur pelayanan yang kita punya, kalau pelayanannya tidak pada tepat sasaran, kalau subyek yang tidak mengerti tentang itu, tidak ada gunanya,” tuturnya.

Selain itu, Luthfi juga memaparkan Program Spesialis Keliling (Speling) yang merupakan program unggulan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Program ini merupakan upaya yang dilakukan melalui Dinas Kesehatan dan tujuh Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) milik provinsi dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat masalah kesehatan prioritas seperti Tuberkulosis (TBC), Kanker Serviks, serta Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).

Selanjutnya, narasumber kedua Wakil Bupati Magetan Suyatni Priasmoro menjelaskan inovasi Puspa Hunting yang dikembangkan untuk percepatan penurunan angka stunting dan penuntasan kasus TB di daerahnya. Menurutnya, latar belakang lahirnya inovasi ini adalah adanya keterkaitan erat antara kedua masalah kesehatan tersebut infeksi TB dapat menghambat penyerapan nutrisi sehingga memperburuk kondisi stunting, dan sebaliknya balita dengan stunting memiliki risiko lebih tinggi terinfeksi TB karena daya tahan tubuh yang lemah.

“Di Magetan ditetapkan kebijakan bahwa semua balita stunting harus didiagnosa dan ditangani oleh dokter spesialis anak. Supaya begitu ketahuan terinfeksi TBC dapat segera ditangani,” jelasnya.

Narasumber ketiga, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Banyuwangi M. Y. Bramuda, memaparkan strategi daerahnya dalam peningkatan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memanfaatkan birokrasi sebagai mesin pendorong perubahan budaya kerja baru dan pencipta peluang ekonomi. Menurutnya, pemerintah daerah berperan sebagai job enabler dengan tiga konsep utama.

“Pertama adalah memfasilitasi ekosistem kerja, yang kedua adalah menghubungkan pasar, sumber daya manusia, model bisnis, dan teknologi, yang ketiga adalah mengkurasi potensi lokal agar benar-benar menjadi peluang ekonomi. Maka bagi kami pelayanan publik itu tidak diukur dari cepat atau tidaknya layanan, tetapi bagaimana bertambah atau tidaknya warga dalam bekerja,” pungkasnya.

 

 

 

Berita Terkini