NARASINETWORK.COM - Pada Minggu (28/12/2025) Gereja Katolik Indonesia dan seluruh komunitas akademik serta budaya di negeri ini kembali berduka. Romo Fransiskus Xaverius Mudji Sutrisno, SJ yang akrab disapa Romo Mudji dipanggil ke pangkuan Bapa di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta Pusat.
Kepergiannya bukan hanya kehilangan seorang imam yang setia, melainkan juga sosok yang telah menanam benih pemikiran kritis, kasih, dan kemanusiaan di hati generasi muda Indonesia selama lebih dari empat dekade.
“Dimensi empat disebut dimensi astral penjembatan dimensi lima, yaitu kesadaran akan roh dalam diri manusia, pengalaman mencintai dan dicintai, yang memuat pengalaman cahaya batin atau nurani. Bagai cahaya sorot matahari yang menyinari semua yang ada.
Mencintai dan dicintai merupakan pengalaman gelombang cahaya yang tidak tampak, tetapi batin yang terkenai cahaya pencerahan pembaruan hidup.”
Meneladani jejak hidup Romo Mudji berarti mempelajari bagaimana iman, ilmu, dan pengabdian dapat menyatu menjadi satu kesatuan yang hidup, memberi cahaya di tengah kegelapan dan arah di tengah keraguan.
I. Awal Perjalanan
Dari Solo ke Dunia Pemikiran
Romo Mudji lahir di Surakarta, 12 Agustus 1954, dalam lingkungan yang kental dengan nilai nasionalisme dan budaya Jawa. Ayahnya, seorang guru, menanamkan rasa cinta tanah air sejak dini melalui diskusi-diskusi kebangsaan dan pengenalan terhadap seni wayang di Sriwedadi.
Lingkungan ini menjadi pondasi bagi kepekaan estetik dan spiritualnya yang kemudian berkembang menjadi ciri khas pemikirannya. Pendidikan formalnya dimulai di SD Pangudi Luhur Solo, berlanjut ke Seminari Menengah Mertoyudan, hingga mendalami filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta.
Dahaganya akan ilmu tidak berhenti di tanah air. Romo Mudji melanjutkan studi ke Italia, di mana ia meraih gelar Doktor bidang Filsafat dari Universitas Gregoriana, Roma, pada tahun 1986. Ia juga sempat mendalami studi agama dan seni di Sophia University, Tokyo.
Pengalaman belajar di luar negeri tidak membuatnya lupa akar budaya sendiri; sebaliknya, ia memanfaatkannya untuk membandingkan dan mengintegrasikan pemikiran Barat dan Timur, menciptakan corak pemikiran yang unik dan relevan dengan konteks Indonesia.
II. Gembala yang Setia: Di Altar Gereja dan Altar Kehidupan
Sebagai seorang imam dalam Serikat Yesus, Romo Mudji menjalani tugasnya sebagai gembala dengan kasih dan kebijaksanaan. Beliau tidak hanya berdiri di altar gereja untuk memimpin ibadah, tetapi juga menghadapi umat di tengah kesulitan dan kegembiraan mereka. Bagi beliau, pelayanan rohani bukanlah tugas yang terpisah dari kehidupan sehari-hari, melainkan bagian dari kesatuan yang menyeluruh.
Namun, altar bagi Romo Mudji tidak hanya berada di dalam gereja. Beliau melihat dunia pendidikan sebagai “altar kehidupan” tempat ia mengabdikan diri untuk mencerdaskan bangsa. Sebagai Guru Besar di STF Driyarkara, ia aktif mengajar di Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) dan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Di ruang kelas, beliau tidak hanya mengajarkan teori filsafat, tetapi juga mengajak mahasiswa untuk berpikir kritis dan mendalam tentang makna hidup dan eksistensi manusia. Beliau mampu menjadikan konsep-konsep kompleks filsafat menjadi mudah dipahami dengan analogi yang sederhana, sehingga banyak mahasiswa terinspirasi untuk mengeksplorasi dunia pemikiran dengan lebih giat.
III. Filsuf yang Brilian
Membuka Cakrawala Pemahaman
Sebagai seorang filsuf, Romo Mudji adalah pemikir yang brilian dan produktif. Sejak tahun 1983, menulis telah menjadi ritual harian yang melahirkan puluhan buku mengenai filsafat, budaya, dan kritik sosial. Karya-karyany seperti Estetika: Filsafat Keindahan, Getar-getar Peradaban, dan refleksinya tentang tokoh filsafat Indonesia seperti Driyarkara menempatkannya sebagai salah satu suara penting dalam humanisme Indonesia.
Beberapa tulisan akademiknya juga tercatat dalam Google Scholar, menandai kontribusinya dalam dunia ilmiah internasional.
Pemikiran Romo Mudji selalu terhubung dengan realitas sosial Indonesia. Ia banyak menegaskan pentingnya dimensi kemanusiaan, keadilan sosial, dan integritas dalam kehidupan berbangsa. Beliau tidak ragu untuk bersuara tentang demokrasi, pluralisme, dan toleransi, tetapi selalu dengan nada reflektif dan tidak menggurui.
Di tengah zaman yang gaduh dan penuh konflik, ia memilih berbicara pelan, namun kata-katanya mampu mengendap lama di benak pendengarnya. Pendekatan ini menjadikan beliau sebagai mediator pemikiran di tengah perdebatan sosial yang seringkali tajam.
IV. Budayawan yang Terlibat
Dialog Lintas Iman dan Kreativitas
Romo Mudji juga dikenal sebagai budayawan terkemuka yang aktif dalam berbagai kegiatan kebudayaan. Keterlibatannya dalam Borobudur Writers & Cultural Festival memperlihatkan wajah beliau sebagai seseorang yang percaya pada dialog lintas iman dan budaya.
Beliau menafsirkan Borobudur bukan hanya sebagai monumen sejarah, tetapi sebagai teks hidup tentang pencarian makna dan kebijaksanaan. Melalui festival ini, ia berusaha menjembatani perbedaan dan menumbuhkan rasa persahabatan antar masyarakat yang berbeda keyakinan dan latar belakang.
Selain menulis, Romo Mudji juga mengekspresikan perenungan spiritualnya melalui garis-garis sketsa. Ia adalah pelukis yang rutin menggelar pameran untuk membagikan kisah perjalanan ritual dan intelektualnya.
Bagi beliau, seni adalah cara lain untuk berfilsafat—bahasa sunyi ketika konsep tak lagi cukup. Seperti yang ditulisnya dalam salah satu esainya:
“Untuk benar-benar menikmati sebuah sketsa, dibutuhkan kesabaran. Dalam bingkai, sering kali kita temukan ruang kosong yang luas di antara garis-garis kecil. Ruang ini adalah milik imajinasi kita. Sketsa adalah ekspresi hati yang tertuang dalam garis. Setelah keheningan, barulah muncul gambar yang mewakili perasaan dan jiwa sang pelukis.”
V. Pengabdian Masyarakat: Antara Akademik dan Kesejahteraan Bangsa
Kepedulian Romo Mudji pada persoalan bangsa tidak hanya terwujud dalam tulisan dan pengajaran, tetapi juga dalam keterlibatan praktis. Pada periode 2001-2003, beliau menjabat sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), berkontribusi dalam memajukan demokrasi di Indonesia pasca Reformasi. Namun, kecintaannya pada dunia literasi dan pendidikan membuatnya memilih mengundurkan diri demi fokus kembali ke pengajaran.
Selain itu, Romo Mudji juga pernah terlibat dalam Komisi Kebenaran dan Persahabatan (2005-2006) serta menjadi tim penilai Penghargaan Kebudayaan Presiden RI. Melalui peran-peran ini, beliau berusaha mempromosikan keadilan, kebenaran, dan perkembangan kebudayaan di negeri ini. Beliau adalah sosok yang rendah hati, terbuka terhadap ide-ide baru, dan bersedia berdialog dengan siapa pun, tanpa memandang latar belakang atau keyakinan.
VI. Warisan yang Abadi
Meneladani Jejak Romo Mudji
Kepergian Romo Mudji meninggalkan jejak yang tidak dapat dilupakan di dunia akademik, budaya, dan spiritual Indonesia. Warisannya bukan hanya buku dan karya seni, tetapi juga cara berpikir dan cara memandang manusia sebuah undangan untuk tetap waras dan manusiawi di tengah zaman yang sering kehilangan arah.
- Menjunjung tinggi iman dan ilmu secara seimbang
Beliau menunjukkan bahwa iman tidak menghalangi pencarian ilmu, dan ilmu dapat memperkuat iman.
- Berpengabdian tanpa pamrih
Baik di altar gereja maupun di ruang kelas selalu mengutamakan kepentingan orang lain.
- Berpikir kritis dan reflektif
Beliau mengajarkan kita untuk tidak menerima apa-apa secara buta, melainkan untuk mempertanyakan dan mencari makna yang lebih dalam.
- Menghargai perbedaan dan mempromosikan dialog
Di tengah keragaman Indonesia perbedaan dapat menjadi kekuatan jika kita mau berkomunikasi dan saling memahami.
- Mengekspresikan diri melalui kreativitas
Baik melalui tulisan maupun sketsa kreativitas adalah cara untuk menyampaikan pesan spiritual dan kemanusiaan.
Misa Requiem Romo Mudji diadakan pada tanggal 29 dan 30 Desember 2025 pukul 19.00 di Kapel Kolese Kanisius, Jakarta, di mana jenazahnya disemayamkan selama dua hari. Pada tanggal 30 Desember 2025 pukul 21.00, jenazahnya diberangkatkan ke Girisonta, dan pemakaman diadakan pada tanggal 31 Desember 2025, didahului dengan Ekaristi pukul 10.00 di Gereja Paroki sebelum dilanjutkan ke Taman Maria Ratu Damai, Girisonta.