Perjalanan Menemukan Jati Diri: Refleksi atas Pelajaran Hidup yang Tidak Ada di Modul Kuliah

Rabu, 31 Dec 2025 19:02
Perjalanan Menemukan Jati Diri: Refleksi atas Pelajaran Hidup yang Tidak Ada di Modul Kuliah Istimewa

NARASINETWORK.COM - Sebagian besar orang memiliki pemahaman dasar tentang pendidikan tinggi, yang meliputi ruang kelas, kurikulum, modul pembelajaran, dosen pengajar, mahasiswa yang mencatat, tugas yang dinilai, dan indeks prestasi kumulatif yang terus diperhitungkan. Kampus umumnya dianggap sebagai “pabrik intelektual, fasilitas yang dimaksudkan untuk menyiapkan ahli yang siap bekerja. Namun, semakin dunia pendidikan ditelaah secara kritis, semakin terlihat bahwa perguruan tinggi bukan hanya lembaga penyampai pengetahuan. Pembentukan identitas diri dan pencarian makna hidup bagi mereka yang menempuh pendidikan terjadi di balik kurikulum yang terstruktur, dengan proses yang panjang dan jauh lebih mendasar. Hasil belajar dalam kuliah disajikan sebagai kompetensi akademik, pemikiran kritis, analisis, dan pengetahuan teoritis spesifik. Namun, tidak ada modul yang secara spesifik menyatakan bahwa mahasiswa akan belajar mengidentifikasi diri mereka, mengetahui nilai-nilai yang mereka miliki, dan mengetahui arah yang ingin mereka tempuh dalam hidup setelah lulus. Proses tersebut adalah pelajaran “terselubung” yang hadir bukan karena kurikulum, tetapi karena kehidupan itu sendiri. Inilah yang menjadikan pengalaman dalam perkuliahan sebagai proses penemuan diri, namun proses ini cenderung diabaikan baik secara epistemologis maupun pedagogis.

Psikologi perkembangan menjelaskan bahwa rentang usia mahasiswa umumnya berada pada fase emerging adulthood, yaitu masa transisi dari remaja menuju dewasa yang ditandai oleh pencarian identitas, ketidakstabilan emosi, eksplorasi peran, dan kemandirian yang masih berkembang (Arnett, 2000). Pada tahap ini, individu berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial seperti: Siapa aku? Apa yang ingin aku lakukan? Apa yang aku percayai? Namun, kampus tidak menyediakan ruang dalam evaluasi akademik untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut. Proses pencarian identitas ini terjadi secara terselubung, terjalin di aktivitas perkuliah, organisasi, pertemanan, tekanan sosial, dan pengalaman kegagalan. Secara sosiologis, kampus adalah masyarakat mini yang menjadi tempat di mana orang-orang dengan latar belakang sosial, ekonomi, budaya, bahkan ideologis yang beragam berkumpul dan berinteraksi. Interaksi-interaksi ini membentuk pondasi yang penting dalam pembentukan identitas, karena identitas yang kita sebut sebagai diri kita tidak pernah muncul ke dunia tanpa konsep. Diri dan lingkungan saling memengaruhi dalam pembentukan identitas. Kehidupan kampus, dosen, teman sekelas, organisasi mahasiswa, dan ruang diskusi berfungsi sebagai cermin sosial, yang tidak hanya mencerminkan siapa seseorang, tetapi juga bagaimana mereka dipersepsikan dan diperlakukan oleh orang lain. Tidaklah aneh jika mahasiswa baru mengenal diri mereka bukan berdasarkan apa yang mereka ketahui, tetapi berdasarkan apa yang mereka terima atau ditolak dalam lingkungan baru.

Faktor lingkungan di kampus telah terbukti memainkan peran penting dalam membentuk identitas mahasiswa. Dalam studinya, Sari (2024) menemukan bahwa semakin besar partisipasi mahasiswa dalam kegiatan kampus dengan adanya ruang lingkup partisipasi dan interaksi sosial, semakin matang pula perkembangan identitas pribadi mereka. Hal ini dapat ditunjukkan melalui peningkatan rasa percaya diri, tujuan hidup, dan kemampuan pengambilan keputusan. Temuan ini menunjukkan bahwa pembelajaran terbesar di kampus biasanya terjadi di luar kelas, di area di mana mahasiswa terpapar pada realitas kehidupan. Namun, proses pencarian identitas tidak hanya bergantung pada situasi sosial kampus, tetapi juga pada situasi budaya. Indonesia sebagai negara yang menjunjung nilai harmoni sosial dan kolektivisme, sering kali menempatkan mahasiswa dalam dilema antara keinginan pribadi dan ekspektasi keluarga. Sebagian besar mahasiswa memilih program studi bukan karena minat intrinsik, tetapi karena tekanan sosial yang didasarkan pada anggapan bahwa program studi tersebut menjamin masa depan, dan tekanan keluarga yang ingin mempertahankan martabat sosial. Dalam keadaan seperti ini, proses pencarian identitas tidak hanya berkaitan dengan pertanyaan tentang siapa diri saya, tetapi juga apakah saya memiliki hak untuk menentukan hidup saya sendiri? Seperti yang diungkapkan oleh Masturah (2017), hubungan sosial, terutama antara individu dan keluarga, memiliki dampak yang signifikan terhadap identitas mahasiswa Indonesia. Mahasiswa sering kali dilanda dilema antara menjadi diri mereka sendiri memenuhi peran yang diharapkan oleh lingkungan. Pelajaran semacam ini jelas tidak dapat dipelajari dalam modul perkuliahan, tetapi membentuk pondasi kehidupan dewasa seseorang.

Tekanan akademis, persaingan nilai, dan hubungan interpersonal dalam era digital juga telah memperkenalkan dimensi baru dalam proses penemuan diri. Mahasiswa kini memiliki tahap identitas baru yang belum pernah mereka alami sebelumnya di media sosial. Semua orang berlomba-lomba untuk menampilkan yang terbaik dari diri mereka: momen-momen sukses, organisasi, beasiswa, karya ilmiah, atau pencapaian lainnya. Fenomena ini berdapak pada fear of missing out (FOMO) dan perasaan “tidak cukup”. Banyak mahasiswa merasa tertinggal karena hidup mereka tidak sebaik orang lain. Identitas diri semakin terpecah dengan diri yang dipamerkan ke media sosial, dan diri yang dirasakan secara personal, dua aspek yang tidak selalu sejalan. Berpikir kritis dapat dipelajari di perkuliahan, meskipun mereka tidak dapat menyediakan lingkungan yang aman untuk merenung dengan pertanyaan “apakah saya bahagia dengan hidup yang saya jalani?”

Al Qiu et al. (2025) menemukan bahwa identitas diri di kalangan mahasiswa secara langsung terkait dengan kemampuan pengambilan keputusan mereka dan arah tindakan di masa depan. Ketika mahasiswa menyadari nilai-nilai yang mereka anut dan jati dirinya, mereka akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengambil keputusan, menghadapi ketidakpastian, dan menjalani hidup mereka setelah lulus. Di sisi lain, individu yang mengalami kebingungan identitas cenderung mengalami stres, persepsi diri yang rendah, dan ketidakmampuan untuk menetapkan tujuan. Namun, tidak ada program studi di perguruan tinggi yang mengajarkan cara merencanakan kehidupan sendiri. Sebagian besar mahasiswa terpaksa belajar secara mandiri, melalui kesalahan, kurangnya orientasi, atau bahkan kekecewaan terhadap keputusan yang telah mereka ambil.

Penemuan diri adalah proses yang panjang, tidak linier, dan tidak pasti. Tidak semua orang dapat menemukan jawaban di perguruan tinggi, beberapa orang baru menemukan ketenangan saat mereka mulai bekerja, saat mereka menikah, atau bahkan saat mereka sudah lebih tua. Harus diakui bahwa perguruan tinggi adalah titik awal yang penting dalam perjalanan menemukan jati diri. Pendidikan tinggi, terlepas dari kurikulum formalnya, merupakan sebuah ruang transformatif: ruang di mana mahasiswa tidak hanya diharapkan menjadi cerdas, tetapi juga menjadi individu yang seimbang. Dalam perkuliahan, mahasiswa mengenal batas-batas mereka, harga diri mereka, dan tujuan hidup mereka. Pelajaran ini tidak tertulis dalam modul,pembelajaran, tidak tercantum dalam capaian pembelajaran, dan tidak ada skor penilaian, namun menjadi pelajaran paling fundamental dari pengalaman berkuliah.. Pada akhirnya, perguruan tinggi bukan hanya sumber gelar akademik. Ia membentuk individu yang sedang berkembang. Proses itulah yang kemungkinan besar akan lebih membekas dalam ingatan kita daripada teori apa pun yang pernah kita baca dalam buku.

Berita Terkini