NARASINETWORK.COM - JAKARTA
Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 tentang Penetapan Dokumen Persyaratan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai Informasi Publik yang Dikecualikan selama lima tahun dinilai sebagai langkah mundur demokrasi.
Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, sangat menyayangkan keputusan tersebut karena dianggap semakin menjauh dari prinsip transparansi dan akuntabilitas publik. Menurut Neni, keputusan itu bukan hanya keliru secara hukum, tetapi juga berbahaya secara politik.
Dengan menutup dokumen seperti daftar riwayat hidup, profil singkat, rekam jejak, laporan harta kekayaan (LHKPN), serta surat keterangan lain, KPU secara efektif mengunci akses publik terhadap informasi vital yang menentukan integritas calon pemimpin bangsa. Kebijakan ini juga bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang menjamin hak setiap orang untuk memperoleh informasi serta mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang terbuka dan transparan.
“KPU tidak boleh berlindung di balik alasan perlindungan data pribadi untuk menutup dokumen publik yang krusial. Menutupnya berarti mengunci hak rakyat untuk tahu dan melemahkan akuntabilitas pemilu. KPU adalah lembaga publik yang harus berintegritas, jangan sampai menjadi alat penguasa untuk kepentingan politik pragmatis,” tegas Neni.
Ia menambahkan, partai politik saja saat mendaftar ke KPU wajib menyerahkan dokumen terbuka yang bisa diakses publik. Jika dokumen parpol dapat dibuka, mengapa justru dokumen pribadi capres-cawapres dikunci? Seharusnya capres-cawapres tunduk pada standar keterbukaan yang sama.
Atas dasar itu, DEEP Indonesia menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Ada dugaan pelanggaran prinsip keterbukaan informasi. UU Keterbukaan Informasi hanya membolehkan pengecualian terbatas, bukan menyapu seluruh dokumen sekaligus. Jika publik membutuhkan, informasi tersebut tetap harus disampaikan.
2. Mengunci demokrasi selama lima tahun. Publik kehilangan momentum kritis untuk menguji calon tepat saat pemilu berlangsung.
3. Uji konsekuensi tanpa transparansi. KPU mengklaim telah melakukan uji konsekuensi, tetapi tidak membuka proses dan alasannya ke publik.
4. Menggerus kepercayaan publik. Semakin tertutup, semakin besar kecurigaan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.
5. KPU tidak boleh menjadi alat penguasa. Sebagai penyelenggara pemilu yang independen, KPU wajib berpihak pada kepentingan rakyat, bukan kandidat tertentu. Menutup dokumen capres-cawapres justru memberi kesan KPU melindungi elite politik, bukan melayani publik.
“Atas dasar tersebut, DEEP Indonesia mendesak KPU segera mencabut Keputusan 731/2025 dan menggantinya dengan regulasi baru yang lebih seimbang. Perlindungan data pribadi tetap penting, tetapi hanya pada informasi yang benar-benar sensitif, bukan yang berkaitan dengan integritas calon presiden dan wakil presiden. Tidak ada alasan untuk menutup informasi yang menjadi hak publik. Demokrasi hanya bisa tumbuh dengan transparansi, bukan menjadi ruang gelap dalam pemilu. Sebagaimana disampaikan Jurgen Habermas, keterbukaan adalah syarat deliberasi demokrasi,” tutup Neni.
**