Mimi Rasinah : Maestro Tari Topeng Indramayu yang Melegenda

Jumat, 23 May 2025 10:00
Mimi Rasinah, dengan keberanian dan bakatnya, mendobrak tradisi ini. Ia membuktikan bahwa perempuan mampu menguasai seni tari topeng dengan keanggunan, kelincahan, dan kekuatan ekspresi yang tak kalah dengan penari pria. Nana Wiyono

NARASINETWORK.COM - Tari topeng, kesenian tradisional Indonesia yang kaya akan estetika dan makna, memiliki tempat istimewa di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Di balik keindahan gerakan dan ekspresi wajah di balik topeng, terdapat sosok legendaris yang telah mengubah sejarah perkembangan tari topeng, yaitu Mimi Rasinah. Meskipun beliau telah meninggal dunia pada tahun 2020, warisan dan pengaruhnya tetap terasa hingga saat ini. Mimi Rasinah bukan hanya seorang penari ulung, tetapi juga seorang pelopor yang membuka jalan bagi perempuan untuk berkarya dalam seni tari topeng yang sebelumnya didominasi laki-laki.

Sebelum Mimi Rasinah, tari topeng di Indramayu hampir secara eksklusif ditarikan oleh pria. Perempuan hanya berperan sebagai penonton atau penari ronggeng, yang seringkali dikaitkan dengan konotasi menggoda. Mimi Rasinah, dengan keberanian dan bakatnya, mendobrak tradisi ini. Ia membuktikan bahwa perempuan mampu menguasai seni tari topeng dengan keanggunan, kelincahan, dan kekuatan ekspresi yang tak kalah dengan penari pria. Keberhasilannya ini menjadi tonggak penting dalam perkembangan tari topeng modern, membuka jalan bagi partisipasi aktif perempuan dalam kesenian ini.

Lahir di Indramayu pada 3 Februari 1930, Mimi Rasinah mendapatkan didikan seni tari topeng sejak usia dini dari ayahnya, Lastra, seorang dalang topeng berpengalaman. Sebagai generasi ke-9 dalam keluarga seniman topeng, ia dilatih dengan gerakan-gerakan dasar tari topeng sejak usia 5 tahun. Selain bimbingan ayahnya, ia juga belajar dari Warimah, seorang dalang topeng yang menjadi panutannya. Di usia 9 tahun, ia memulai debutnya dengan tampil dalam pertunjukan babarang (ngamen), menunjukkan bakatnya tidak hanya dalam menari, tetapi juga memainkan kendang pentungan dan kendang ditepak, instrumen musik yang biasanya dimainkan oleh pria.

Perjalanan Mimi Rasinah tidak selalu mudah. Ia mengalami berbagai kesulitan, termasuk tantangan ekonomi dan hambatan politik yang sempat menghentikan sementara penampilannya. Pada masa penjajahan Jepang, rombongan topeng ayahnya pernah dituduh sebagai mata-mata, mengakibatkan beberapa topeng dan aksesoris dimusnahkan. Setelah kemerdekaan, kesenian rakyat, termasuk tari topeng, sempat mengalami masa sulit karena dikaitkan dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Namun, semangatnya tak pernah padam. Ia bangkit dan terus mengembangkan kemampuannya, menciptakan gaya tari topeng yang unik dan memukau, ditandai dengan improvisasi yang seringkali nyentrik dan menarik perhatian.

Di masa tuanya, Mimi Rasinah memastikan kelangsungan seni tari topeng dengan mendirikan Sanggar Tari Mimi Rasinah. Ia melatih anak-anak muda, termasuk cucunya, Aerli Rasinah. Aerli, dengan semangat yang tak kalah kuat, meneruskan legasi neneknya, membuktikan bahwa kecantikan dan kesempurnaan fisik bukanlah halangan untuk berkarya di bidang seni. Bersama suaminya, seorang seniman tari topeng Cirebon, dan anak-anaknya, ia terus mengembangkan sanggar dan mengajarkan seni tari topeng kepada generasi penerus.

Mimi Rasinah lebih dari sekadar penari topeng; ia adalah ikon keuletan, keberanian, dan dedikasi dalam melestarikan warisan budaya. Kisah hidupnya menjadi inspirasi bagi para seniman dan perempuan Indonesia untuk terus berkarya dan melestarikan kesenian tradisional. Legasi Mimi Rasinah akan terus dikenang sebagai tonggak bersejarah dalam perkembangan tari topeng di Indonesia.

Berita Terkini