NARASINETWORK.COM - KAB. BANDUNG
-Kasus pengrusakan kebun teh Pangalengan kembali menjadi sorotan publik. Tidak hanya soal penebangan tanaman teh yang merusak vegetasi, tetapi juga dugaan kuat adanya praktik pengalihan fungsi lahan secara sistematis yang berlangsung selama puluhan tahun.
"Dampaknya kini mulai terasa lingkungan rusak, daya serap tanah hilang, dan ancaman bencana ekologis semakin nyata," ujar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jabar, Wahyudin kepada Narasinetwork, Senin (1/12/2025).
Ia mengatakan bahwa kerusakan lingkungan di kawasan kebun teh Pangalengan bukan sekadar persoalan penebangan tanaman. Daya serap air yang seharusnya tersimpan di akar teh kini lenyap, terutama karena metode perusakan menggunakan alat berat (beko).
"Pada musim hujan, permukaan tanah tanpa tutupan vegetasi menimbulkan run off tinggi yang menggerus lapisan permukaan tanah menciptakan sedimentasi besar-besaran ke sungai-sungai kecil. Kondisi tersebut dinilai menjadi salah satu pemicu kuat bencana banjir bandang dan banjir lumpur," katanya.
Selama kurun waktu 20 tahun, WALHI menyoroti adanya kecenderungan praktik kerja sama lahan yang dilakukan PTPN dengan perusahaan atau individu bermodal besar untuk budidaya tanaman sayuran, utamanya kentang. Praktik ini dinilai sebagai kekeliruan besar dan bertentangan dengan aturan pengelolaan kawasan serta fungsi komoditas tanaman teh.
Ia juga menilai bahwa rilis resmi dari PTPN menyatakan luasan alih fungsi mencapai 150 hektare, namun sumber lapangan menyebutkan bahwa angka tersebut berpotensi jauh lebih besar.
"Kami menduga dalang utamanya adalah PTPN sendiri memberikan keleluasaan pengelolaan lahan kepada perusahaan pertanian, hingga tanaman teh berganti menjadi hamparan kebun sayuran," terangnya.
Mengalihkan tanaman teh menjadi tanaman sayuran bukan sekadar penyimpangan teknis. Jika dilakukan secara sengaja, praktik ini merupakan pelanggaran berat yang secara hukum dapat ditindak dan dikenakan sanksi. Kerusakan ekologis pun menjadi implikasi langsung: hilangnya daya serap air, degradasi tanah, dan sedimentasi ekstrem yang bermuara ke badan-badan air.
WALHI menilai lemahnya kontrol pemerintah membuka celah bagi praktik alih fungsi lahan tanpa evaluasi. Selama masa Hak Guna Usaha (HGU) PTPN berjalan, tidak ada audit komprehensif pemerintah, pengawasan berjalan longgar, bahkan cenderung tidak ada kontrol ketika izin diberikan. Akibatnya, fakta-fakta pengelolaan lahan yang mengarah pada komersialisasi untuk kepentingan pertanian sayuran tidak terpantau.
Poin krusial lainnya berkaitan dengan status HGU PTPN di Kabupaten Bandung. WALHI menyebut terdapat ribuan hektare HGU yang telah habis masa izin, namun tetap dikerjasamakan kepada pihak lain demi menghindari kerugian. Padahal menurut aturan, setidaknya ada dua pilihan ketika HGU berakhir:
- PTPN mengajukan perpanjangan kembali.
- Lahan dikembalikan kepada negara.
Tanpa kontrol dan pengawasan pemerintah, lanjut Iwang, yang terjadi justru praktik sewa-menyewa lahan kepada perusahaan dan kelompok pemodal.
"WALHI mendesak pemerintah mengusut tuntas dugaan keterlibatan oknum PTPN dalam alih fungsi lahan kebun teh Pangalengan. Investigasi menyeluruh dan audit HGU dinilai mendesak untuk dilakukan, bukan hanya untuk menegakkan hukum, tetapi juga untuk memastikan bahwa keberadaan PTPN memberi manfaat bagi masyarakat sekitar bukan sebaliknya menjadi penyebab kerusakan lingkungan dan hilangnya keseimbangan ekologis," pungkasnya
**