Kekerasan di Pendidikan Tinggi : Antara Regulasi dan Realita, Menuju Sistem yang Humanis

Jumat, 24 Oct 2025 14:28
Kasus Timothy Anugerah Saputra menyoroti masalah kekerasan sistemik di pendidikan tinggi Indonesia. Akar masalahnya meliputi tradisi perpeloncoan, lemahnya pengawasan, dan implementasi regulasi yang tidak efektif. Istimewa

NARASINETWORK.COM - Kasus tragis yang menimpa Timothy Anugerah Saputra (22) bukanlah sebuah insiden tunggal, melainkan manifestasi dari permasalahan yang lebih dalam dan sistemik di lingkungan pendidikan tinggi Indonesia. Nama-nama seperti dr. Aulia Risma (PPDS Undip) dan berbagai korban kekerasan di UGM serta kampus lainnya menjadi saksi bisu bahwa pola kekerasan yang berakar pada tradisi dan dibiarkan oleh sistem terus berulang.

Meskipun pemerintah telah mengeluarkan regulasi seperti Permendikbudristek No. 46/2023 dan No. 55/2024 untuk mencegah kekerasan di lingkungan pendidikan, implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan. Laporan seringkali diabaikan, pelaku dilindungi, dan korban justru disalahkan.

Kekerasan di lingkungan pendidikan tinggi, khususnya perundungan dan perpeloncoan, memiliki akar yang kompleks dan mendalam.

Beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap masalah ini meliputi : 

1. Tradisi dan Normalisasi Kekerasan: Perundungan dan perpeloncoan seringkali dianggap sebagai tradisi yang harus dilestarikan, terutama dalam kegiatan orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek). Senioritas digunakan sebagai alat untuk menekan dan merendahkan mahasiswa baru, dengan dalih melatih mental dan solidaritas. Padahal, praktik-praktik ini justru menghilangkan rasa aman, meruntuhkan mental, dan menghalangi solidaritas tim.

2. Ketidakjelasan Definisi dan Cakupan Perundungan: Banyak guru dan siswa tidak memahami definisi dan cakupan perundungan yang baik. Mayoritas menganggap perundungan sebatas kekerasan fisik dan verbal, sementara bentuk perundungan lain seperti isolasi sosial dan kekerasan seksual sering diabaikan.

3. Lemahnya Sistem Pelaporan dan Penanganan Kasus: Sekolah dan kampus seringkali tidak memiliki sistem pelaporan dan rujukan perundungan yang efektif bagi siswa. Siswa yang mengalami perundungan kerap merasa sia-sia jika melapor, karena laporan mereka tidak ditangani dengan serius. Bahkan, pihak guru dan dosen masih enggan menganggap kasus perundungan secara serius dan menormalisasinya sebagai "dinamika pertemanan" yang wajar.

4. Kurangnya Pengawasan dan Penegakan Hukum: Pemerintah dan pihak kampus seringkali kurang melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan. Pelaku perundungan dan perpeloncoan seringkali dilindungi oleh senior atau pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuasaan. Hal ini menciptakan impunitas dan mendorong keberulangan tindakan kekerasan.

5. Faktor Sosial dan Budaya: Lingkungan keluarga dan masyarakat juga dapat memengaruhi perilaku anak di sekolah dan kampus. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang permisif terhadap kekerasan cenderung meniru perilaku tersebut di lingkungan pendidikan.

Meskipun pemerintah telah mengeluarkan Permendikbudristek No. 46/2023 dan No. 55/2024 untuk mencegah kekerasan di lingkungan pendidikan, implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai kendala.

Beberapa penyebab kegagalan implementasi regulasi ini meliputi :

1. Kurangnya Sosialisasi dan Pemahaman: Regulasi tersebut belum tersosialisasi dengan baik kepada seluruh elemen pendidikan, mulai dari siswa, guru, dosen, hingga pihak manajemen kampus. Akibatnya, banyak pihak yang tidak memahami isi dan tujuan dari regulasi tersebut.

2. Lemahnya Pengawasan dan Evaluasi: Pemerintah dan pihak kampus kurang melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap implementasi regulasi di lapangan. Tidak ada mekanisme yang jelas untuk memantau dan mengevaluasi efektivitas regulasi dalam mencegah kekerasan.

3. Kurangnya Sumber Daya dan Infrastruktur: Implementasi regulasi membutuhkan sumber daya dan infrastruktur yang memadai, seperti tenaga konselor, psikolog, dan sistem pelaporan yang mudah diakses. Namun, banyak sekolah dan kampus yang kekurangan sumber daya dan infrastruktur tersebut.

4. Budaya Organisasi yang Resistif: Budaya organisasi yang resistif terhadap perubahan juga menjadi hambatan dalam implementasi regulasi. Beberapa pihak masih berpegang teguh pada tradisi dan praktik-praktik lama yang permisif terhadap kekerasan.

"Dampak dari kegagalan implementasi regulasi ini sangatlah serius. Kekerasan terus berulang, korban mengalami trauma fisik dan psikologis, dan lingkungan pendidikan menjadi tidak aman dan tidak kondusif bagi proses belajar dan pengembangan diri."

Untuk mengatasi kekerasan sistemik di lingkungan pendidikan tinggi, diperlukan solusi komprehensif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi :

1. Pendidikan Anti-Perundungan Sejak Dini: Pendidikan tentang anti-perundungan harus dimulai sejak dini dengan menanamkan perilaku positif dan saling menghormati. Anak-anak perlu diajarkan tentang pentingnya empati, keterbukaan, dan keberanian untuk melawan ketidakadilan sejak di bangku sekolah dasar.

2. Pelibatan Seluruh Insan Sekolah dan Kampus: Pendekatan pencegahan perundungan yang efektif harus melibatkan seluruh insan dan komunitas sekolah dan kampus, termasuk siswa, guru, dosen, staf, dan orang tua. Setiap elemen sekolah perlu memiliki pemahaman yang sama tentang apa itu perundungan, bagaimana mendeteksi dini perundungan, serta bagaimana mencegah serta menanganinya dengan mengedepankan perspektif hak anak.

3. Penerapan Sistem Pelaporan yang Ramah Anak: Sekolah dan kampus perlu membangun sistem pelaporan yang jelas dan mudah diakses oleh siswa. Sistem ini harus memberikan jaminan keamanan dan kerahasiaan bagi siswa yang melapor. Selain itu, sekolah harus memiliki mekanisme yang terstandardisasi dalam menangani laporan perundungan, sehingga setiap kasus dapat ditangani dengan cepat dan tepat.

4. Peningkatan Pengawasan dan Penegakan Hukum: Pemerintah dan pihak kampus harus meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan. Pelaku perundungan dan perpeloncoan harus ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.

5. Pembentukan Satuan Tugas Anti-Bullying: Pemerintah perlu membentuk satuan tugas (satgas) khusus anti-bullying di lingkungan pendidikan. Satgas ini terdiri dari berbagai unsur, tidak hanya dari internal universitas, rumah sakit, Kemenkes, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), kepolisian, tetapi juga beberapa ahli independen, seperti psikolog, sosiolog, dan ahli hukum.

6. Optimalisasi Satgas PPKS: Kampus bisa mengoptimalkan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) untuk menjadi garda terdepan pencegahan berbagai tindak kekerasan yang terjadi di kampus, termasuk perundungan.

7. Pelibatan Komnas HAM: Solusi pencegahan bullying ini juga perlu melibatkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) karena bullying telah merampas hak-hak asasi manusia. Salah satunya dengan menggunakan media sosial sebagai alternatif posko pengaduan bullying di lingkungan pendidikan.

8. Dukungan Moral bagi Korban: Peserta didik dan mahasiswa perlu mendapat dukungan moral dari keluarga dan teman terdekat untuk mengungkap kasus perundungan yang dialaminya, misalnya melalui kanal-kanal podcast (siniar) populer. Keluarga dan teman terdekat berperan dalam membersamai peserta didik dan mahasiswa yang menjadi korban bullying sehingga tidak merasa sendirian dalam menghadapi masalah ini.

9. Penghapusan Hegemoni Senioritas: Penghapusan bullying membutuhkan komitmen dari setiap pimpinan, tenaga pendidik, pegawai, dan peserta didik di lingkungan pendidikan untuk bersama-sama memutus rantai bullying yang telah mengakar kuat selama puluhan tahun. Satu hal yang harus dihilangkan adalah adanya klaim bahwa perundungan adalah bagian dari pembinaan mental.

Kasus Timothy Anugerah Saputra dan korban lainnya adalah panggilan untuk bertindak. Kekerasan sistemik di lingkungan pendidikan tinggi adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian dan tindakan nyata dari seluruh elemen masyarakat.

Dengan menerapkan solusi yang melibatkan pendidikan anti-perundungan sejak dini, pelibatan seluruh insan sekolah dan kampus, penerapan sistem pelaporan yang ramah anak, peningkatan pengawasan dan penegakan hukum, pembentukan satuan tugas anti-bullying, optimalisasi Satgas PPKS, pelibatan Komnas HAM, dukungan moral bagi korban, dan penghapusan hegemoni senioritas, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, kondusif, dan humanis bagi seluruh peserta didik dan mahasiswa.

Hanya dengan upaya bersama, kita dapat memutus rantai kekerasan yang telah mengakar kuat dan mencegah tragedi seperti yang dialami Timothy Anugerah Saputra tidak terulang kembali.

Berita Terkini