Tak Ada Istilah Penonaktifan di DPR, Pakar dan Pengamat Angkat Bicara

Rabu, 3 Sep 2025 00:34
Halaman kantor gedung DPR/MPR/DPD RI Istimewa

NARASINETWORK.COM - Belakangan publik dikejutkan oleh keputusan sejumlah pimpinan partai politik yang menonaktifkan beberapa kadernya yang duduk sebagai anggota DPR-RI. Sekilas kebijakan ini terlihat tegas, seolah-olah partai bersikap keras terhadap anggotanya yang bermasalah. 

Namun jika ditelusuri lebih jauh, istilah “nonaktif” ternyata hanyalah akal-akalan politik yang tidak memiliki dasar hukum sama sekali.

*UUD 1945 dan UU MD3 Tak Mengenal Istilah Nonaktif*

Pasal 22B UUD 1945 sudah jelas menyebutkan bahwa anggota DPR bisa diberhentikan antarwaktu melalui mekanisme yang dikenal dengan Pergantian Antar Waktu (PAW). Mekanisme ini bersifat konstitusional dan memiliki konsekuensi hukum yang jelas. Namun, UUD sama sekali tidak mengenal istilah “nonaktif sementara”.

Hal ini juga ditegaskan oleh UU MD3 (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD). 

Dihimpun dari keterangan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah (Castro), Senin (1/9/2025), menegaskan bahwa dalam UU MD3 tidak ada istilah nonaktif. Menurutnya, aturan yang ada hanyalah pemberhentian sementara maupun pemberhentian tetap, dan keduanya membawa konsekuensi hukum. Sementara itu, status nonaktif yang dipraktikkan partai politik sama sekali tidak punya dasar hukum.

Castro menegaskan, dengan status nonaktif sekalipun, para anggota DPR tersebut tetap memiliki status resmi sebagai wakil rakyat. Artinya, mereka tetap menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas negara. 

“Kalau memang partai serius mengoreksi diri, pecat sebagai anggota partai yang otomatis akan diganti antar waktu. Jadi itu hanya akal-akalan partai politik untuk meredam kritik publik,” ujarnya.

Senada dengan itu, Pengamat Kebijakan Pemerintah Muhammad Said Didu dalam unggahan di akun media sosial X juga mengingatkan publik untuk tidak tertipu. Ia menegaskan bahwa istilah nonaktif hanyalah ilusi politik. 

“Artinya yang dinonaktifkan tetap sebagai anggota DPR dan tetap terima gaji, tunjangan, dan fasilitas lain. Jangan anggap kami semua bodoh,” tulisnya. 

Reaksi publik pun ramai bermunculan. Banyak yang menilai langkah menonaktifkan anggota DPR hanyalah cara partai untuk meredam sorotan masyarakat, padahal substansinya tidak ada. 

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana partai politik sering bermain retorika demi citra, sementara substansi hukum dan kepentingan rakyat diabaikan. Alih-alih mencabut jabatan kader bermasalah melalui mekanisme PAW, partai justru memilih jalan “aman” dengan status nonaktif, yang sejatinya tidak merubah apapun.

Kasus “nonaktif” anggota DPR menegaskan satu hal bahwa publik kembali disuguhi drama politik yang jauh dari semangat reformasi dan akuntabilitas. Istilah nonaktif hanyalah produk politik, bukan produk hukum, dan tidak ada konsekuensi nyata bagi anggota DPR bersangkutan. 

**

Berita Terkini