NARASINETWORK.COM - Konflik dalam keluarga sering kali berawal dari hal yang tampak sepele: nada bicara yang meninggi, pesan yang tidak tersampaikan, atau perasaan yang dipendam terlalu lama. Sayangnya, banyak keluarga menganggap konflik sebagai sesuatu yang wajar untuk didiamkan. Padahal, salah paham yang terus menumpuk dapat berubah menjadi jarak emosional antaranggota keluarga. Dalam situasi inilah, konseling keluarga bukan tanda kegagalan, melainkan bentuk keberanian untuk memperbaiki relasi.
Perubahan zaman membuat dinamika keluarga semakin kompleks. Orang tua menghadapi tekanan ekonomi dan sosial, sementara anak, terutama remaja tumbuh di tengah tuntutan akademik, pengaruh media sosial, dan pencarian jati diri. Perbedaan cara pandang antar generasi sering memicu kesalahpahaman. Orang tua merasa tidak dihargai, sedangkan anak merasa tidak dipahami. Komunikasi pun berubah menjadi saling menyalahkan, bukan saling mendengarkan.
Teori perkembangan keluarga menjelaskan bahwa konflik semacam ini merupakan bagian dari proses tumbuh keluarga. Duvall menyebutkan bahwa setiap tahap perkembangan keluarga memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikan. Pada keluarga dengan anak remaja, tugas utama orang tua adalah menyesuaikan pola pengasuhan dengan kebutuhan kemandirian anak, sementara tetap menjaga kedekatan emosional. Carter dan McGoldrick menegaskan bahwa kegagalan keluarga dalam menyesuaikan diri pada tahap ini dapat memunculkan ketegangan relasional yang berkepanjangan.
Masalah muncul ketika anggota keluarga tidak menyadari bahwa perubahan perilaku dan emosi adalah bagian dari perkembangan, bukan bentuk pembangkangan atau ketidakpedulian. Remaja yang lebih sensitif dan emosional sering dilabeli “berlebihan”, sementara orang tua yang keras dianggap “tidak pengertian”. Label-label ini memperlebar jarak dan membuat komunikasi semakin buntu. Tanpa pendampingan, keluarga terjebak dalam pola konflik yang berulang.
Di sinilah peran konselor dalam layanan bimbingan dan konseling keluarga menjadi sangat penting. Konselor hadir sebagai pihak netral yang membantu keluarga melihat masalah secara lebih objektif. Konselor tidak mencari siapa yang salah, melainkan membantu seluruh anggota keluarga memahami peran, emosi, dan kebutuhan masing-masing. Pendekatan ini sejalan dengan perspektif sistem keluarga yang memandang keluarga sebagai satu kesatuan yang saling memengaruhi.
Melalui konseling keluarga, konselor memfasilitasi komunikasi yang lebih sehat dan empatik. Orang tua dibantu untuk memahami karakteristik perkembangan emosi anak, sementara anak diberi ruang aman untuk mengekspresikan perasaan tanpa takut disalahkan. Konselor juga membantu keluarga mengembangkan keterampilan mendengarkan aktif, mengelola emosi, dan menyelesaikan konflik secara konstruktif. Perlahan, keluarga belajar mengubah pola salah paham menjadi saling paham.
Selain bersifat kuratif, peran konselor juga bersifat preventif dan developmental. Konselor dapat memberikan psikoedukasi tentang tahapan perkembangan keluarga, perubahan peran, serta strategi komunikasi yang adaptif. Dengan pemahaman yang tepat, keluarga lebih siap menghadapi transisi kehidupan, seperti masa remaja anak, peralihan peran orang tua, hingga perubahan struktur keluarga. Konseling keluarga pun tidak lagi dipandang sebagai solusi terakhir, melainkan sebagai upaya menjaga kesehatan relasi keluarga.
Pada akhirnya, keluarga yang sehat bukanlah keluarga tanpa konflik, melainkan keluarga yang mampu mengelola konflik dengan cara yang sehat. Dari salah paham menuju saling paham adalah proses yang membutuhkan kesadaran, keterbukaan, dan pendampingan. Konselor berperan sebagai mitra profesional yang membantu keluarga melewati proses tersebut, agar rumah tetap menjadi ruang aman untuk tumbuh, belajar, dan saling menguatkan.