Wawancara Tokoh : Hilmi Faiq "Mengurai Paradox Konektivitas Digital dalam Pameran Tunggal Mice Cartoon"

Kamis, 15 May 2025 15:00
Hilmi Faiq bukan sekadar penulis, tetapi juga seorang pengamat tajam yang mampu menangkap denyut nadi kehidupan masyarakat. Melalui karyanya, ia menyuarakan keresahan, harapan, dan keindahan yang tersembunyi di balik hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Hilmi Faiq

NARASINETWORK.COM - Jakarta, Pameran Tunggal dari Muhammad Misrad (Mice) yang berlangsung 15-23 Mei 2025 di Bentara Budaya Jakarta, bukan sekadar karya komik historis dan sosiologis. "Telekomunikasi Mengubah Peradaban," yang dikuratori oleh Hilmi Faiq, menawarkan interpretasi kritis terhadap dampak teknologi digital terhadap eksistensi manusia. Melalui karya Mice, pameran ini mengkaji keterasingan, pencarian makna, dan paradoks pilihan dalam komunikasi modern, mendorong refleksi dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap hubungan manusia dengan teknologi. Wawancara bersama NARASINETWORK.COM akan mengupas interpretasi kurator, Hilmi Faiq, terhadap karya tersebut, khususnya mengenai keterasingan, pencarian makna, dan paradoks pilihan di era digital.

Berikut petikan wawancara kami :

1. Mas Hilmi, sebagai kurator, bagaimana Mas menginterpretasikan paradoks konektivitas digital yang divisualisasikan dalam karya Mice, khususnya dalam konteks pameran ini?

J : Kemajuan teknologi menjanjikan efisiensi dan kenyamanan, namun bisa menjauhkan manusia dari pengalaman eksistensial yang autentik. Otentisitas merupakan sikap hidup yang jujur terhadap diri sendiri, hidup secara sadar, dan bertanggung jawab atas pilihan hidup. Pertanyaannya: apakah pilihan-pilihan komunikasi kita hari ini mencerminkan otentisitas itu? Ataukah kita justru terjebak dalam pola komunikasi yang dangkal, impulsif, dan disetir algoritma?

Mice, melalui gayanya yang khas, menghadirkan kritik halus terhadap kepalsuan zaman. Misalnya, dalam menggambarkan budaya selfie dan media sosial, ia menyindir kebutuhan terhadap pengakuan eksternal sebagai pengganti keutuhan diri internal. Ini selaras dengan pemikiran Erich Fromm yang mengkritik budaya konsumtif dan pencitraan sebagai bentuk pelarian dari kecemasan eksistensial. Manusia modern, alih-alih hidup secara otentik, sering kali larut dalam having mode (memiliki), bukan being mode (menjadi).

Dinamika eksistensial lainnya yang relevan adalah kecemasan (anxiety). Kecemasan bukan sekadar gejala patologis yang perlu dihindari, melainkan bagian tak terelakkan dari kesadaran manusia akan kebebasannya. Semakin kita sadar bahwa hidup kita penuh pilihan, semakin besar pula tanggung jawab yang kita pikul, dan semakin besar pula kecemasan yang muncul. Kebebasan tanpa arah bisa menjadi beban yang membingungkan.

Era digital yang digambarkan Mice dalam komiknya memunculkan gambaran jelas tentang bagaimana manusia tenggelam dalam banjir pilihan. Komunikasi yang dulunya sederhana dan terbatas kini berubah menjadi medan tak terbatas: kita bisa menelepon, mengirim pesan teks, chat di berbagai aplikasi, membuat video singkat, menulis status, mengunggah foto, atau sekadar memberi tanda “like”. Sekilas ini terlihat sebagai kemerdekaan yang memanjakan, tapi justru di sinilah muncul paradox of choice.

2. Apa pertimbangan Mas dalam menyeleksi karya Mice untuk ditampilkan, mengingat fokus pameran pada dampak teknologi terhadap pencarian makna hidup dan otentisitas?

J : Sebagian besar karya ini diambil dari buku _Telekomunikasi Mengubah Peradaban_ (2025) yang diterbitkan KPG. Pemilihan karya melibatkan seniman dengan mempertimbangkan ruang serta elemen keterkaitan antara karya dan memori audiens

3. Menurut Mas, bagaimana pameran ini berhasil menyampaikan konsep "existential isolation" dan relevansi pemikiran Erich Fromm kepada pengunjung?

J : Pameran ini hanya sebegai stimulus untuk mengingatkan kembali atrau mengajak merenung tentang konsep existential isolation, yaitu keterpisahan mendalam antara diri dan orang lain yang tidak bisa sepenuhnya dijembatani, meski secara teknologi semua terlihat terkoneksi. Seperti dalam sambutan saya tadi malam, orang bisa saja punya ribuan follower di media osisal, tapi berapa yang benar-benar peduli atau terhubung? mungkin hanya lima atau tujuh.

4. Sebagai kurator, bagaimana Mas melihat visualisasi "paradox of choice" dalam karya Mice merepresentasikan potret psikologis masyarakat modern Indonesia?

J : Sebagai kurator, saya melihat bahwa Mice dengan cerdas menyajikan visualisasi “paradox of choice” dalam bentuk satire keseharian urban yang akrab namun menyentil. Melalui panel-panel komik yang menggambarkan kebingungan masyarakat memilih di antara berbagai produk digital, paket data, atau bahkan aplikasi komunikasi, Mice menyoroti beban psikologis masyarakat modern yang dihadapkan pada terlalu banyak pilihan tanpa arah yang jelas. Representasi ini menjadi cermin atas kegelisahan kolektif: semakin banyak pilihan, semakin besar pula tekanan dalam pengambilan keputusan. Seperti dalam salah satu komik, seorang tokoh bingung hanya untuk memilih paket telepon, menandakan betapa teknologi menciptakan kompleksitas baru dalam hidup yang seharusnya disederhanakan. Komik-komik ini mengingatkan kita bahwa meskipun telekomunikasi memperluas akses dan koneksi, ia juga membawa ekses dalam bentuk kebingungan, alienasi, dan tekanan sosial yang terselubung.

5. Apa harapan Mas agar pameran ini dapat mendorong refleksi pengunjung terhadap peran memori kolektif dan tanggung jawab individu dalam era digital?

J : Saya berharap pameran ini dapat menjadi ruang kontemplatif yang mengajak pengunjung merefleksikan peran mereka sebagai bagian dari sejarah telekomunikasi sekaligus sebagai agen dalam membentuk memori kolektif bangsa. Mice secara halus mengangkat pertanyaan: apakah kita menjadi lebih beradab dengan berkembangnya teknologi komunikasi? Komik-komiknya tidak hanya mencatat perubahan teknologis, tapi juga perubahan cara masyarakat Indonesia berinteraksi, merespons, dan terkadang terlena. Harapannya, pengunjung bisa menyadari bahwa memori kolektif tidak tercipta secara pasif, melainkan dibangun dari kesadaran dan tanggung jawab individu dalam menggunakan media digital. Pameran ini menjadi ajakan untuk tidak hanya mengenang, tetapi juga mengkritisi dan mengambil sikap atas bagaimana kita berperan di tengah banjir informasi dan pilihan yang ditawarkan era digital.


Hilmi Faiq, nama yang mungkin sudah tak asing bagi penikmat sastra Indonesia. Lahir di Lamongan, Jawa Timur, ia telah menorehkan jejak signifikan di dunia kepenulisan, baik fiksi maupun nonfiksi. Tak hanya piawai merangkai kata dalam karya tulis, ia juga dikenal sebagai jurnalis harian Kompas, menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah informasi dan menyampaikannya dengan lugas.

Beberapa karyanya telah menghiasi rak-rak buku, termasuk dua kumpulan cerpen yang menampilkan kepekaannya dalam menangkap realitas kehidupan. Namun, namanya semakin dikenal luas berkat novel Gemuruh, yang memikat pembaca dengan kekuatan narasinya. Keberhasilannya dalam menulis Gemuruh menunjukkan kemampuannya dalam membangun karakter yang kompleks dan plot yang memukau. Keahliannya dalam bercerita tak berhenti sampai di situ. Buku terbarunya, Perkara-perkara Nyaris Puitis (Gramedia Pustaka Utama, 2023), merupakan kumpulan puisi yang memperlihatkan sisi lain dari kreativitasnya, menunjukkan eksplorasi estetika bahasa yang mendalam dan penuh nuansa.

Hilmi Faiq bukan sekadar penulis, tetapi juga seorang pengamat tajam yang mampu menangkap denyut nadi kehidupan masyarakat. Melalui karyanya, ia menyuarakan keresahan, harapan, dan keindahan yang tersembunyi di balik hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Ia adalah bukti nyata bahwa kecintaan pada kata-kata dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk karya yang bermakna dan menginspirasi. Kiprahnya sebagai jurnalis di harian Kompas semakin memperkaya wawasan dan perspektifnya, yang kemudian tertuang dalam setiap karya tulisnya.

Berita Terkini