NARASINETWORK.COM - Siapa yang tidak mengenal Kali Kuto? Sungai besar yang terletak di sebelah timur Alas Roban dan menjadi batas geografis Kabupaten Batang dan Kabupaten Kendal Jawa Tengah ini sekarang menjadi sangat terkenal sejak ada jalan tol trans Jawa ruas Batang-Semarang karena di atasnya berdiri megah Jembatan Merah yang ikonik. Semua pengguna jalan tol yag melalui pasti tidak melewatkan pemandangan indah dan spektakuler itu.
Keindahan pemandangan di Kali Kuto
Kali Kuto sendiri sebenarnya adalah sebutan untuk beberapa anak sungai yang bergabung menjadi satu dan bermuara di Laut Jawa. Dari hulu ada Kali Lampir, Kali Belo, Kali Arus, Kali Jahan dan beberapa sungai kecil yang bergabung di desa Tedunan Kecamatan Gringsing.
Benturan arus beberapa sungai ini menciptakan pemandangan indah tapi mengerikan karena membentuk pusaran air dan suara gemuruh. Meskipun demikan keberadaan Kali Kuto vital untuk pertanian di Kabupaten Batang dan Kendal. Ribuan hektar sawah bergantung pada sistem irigasi yang bersumber dari Kali Kuto.
Supaya lebih maksimal pada tahun 1988 dibangun Bendungan Kedung Asem di desa Mentosari Kecamatan Gringsing yang mampu mengairi 8888 hektar sawah. Debit airnya yang besar dan tidak pernah kering membuat Bendungan Kedung Asem mampu menyuplai air sepanjang tahun. Bendungan Kedung Asem juga menjadi destinasi wisata alam yang memadukan air dan hutan.
Tapi di balik keindahan dan fungsinya, Kali Kuto juga menyimpan cerita mistis dan mitos dari masyarakat sekitar yang dilewati arusnya. Salah satu cerita yang masih dipercaya adalah suasana ramai di jembatan lama yang dibangun Daendels.
Jembatan yang terletak di desa Gringsing ini sudah berpuluh tahun tidak berfungsi lagi karena putus tapi tiang-tiang penyangganya masih terlihat berdiri kokoh. Konon jembatan lama ini adalah pintu gerbang kerajaan gaib penghubung antara laut Selatan dan Laut Jawa. Dulu konon masyarakat sekitar sering mendengar suara ramai seperti orang baris.
Ketika dilihat itu adalah iring-iringan kereta kerajaan yang diikuti pasukan berwujud ular dari Laut Selatan yang menuju Kerajaan Dewi Lanjar di Laut Jawa. “Jika terdengar suara itu dipastikan tidak lama lagi akan terjadi banjir besar”, ujar seorang tua dari Gringsing yang enggan disebut namanya.
Misteri kedua yang tidak kalah menyeramkan adalah mitos yang menyebut Kali Kuto tidak akan mengambil korban dari masyarakat sekitarnya.
Kami menemui mbah Badri dari desa Mentosari Kecamatan Gringsing yang dulu semasa mudanya menjadi penambang pasir. Mbah Badri membenarkan cerita ini dan menyebut rata-rata yang tenggelam di Kali Kuto adalah orang dari luar daerah.
Ada yang sedang bertamu ketika ada hajatan keluarga atau yang sengaja datang untuk mandi atau memancing. “Jumlah korban tidak terhitung. Contohnya dulu ada anak perempuan dari Temanggung menghadiri hajatan keluarga. Dia mandi di Kali Kuto dan tenggelam. Ada juga warga Gringsing tapi itu pendatang. Jadi bukan warga asli”, ucapnya.
Penjelasan ini tentu saja membuat penasaran karena banyak warga desa Gringsing dan Mentosari yang menggantungkan hidupnya dari material yang disediakan Kali Kuto seperti pasir dan batu tapi tidak ada yang mejadi korban. Sampai saat inipun masih dijumpai penambang pasir yang menggunakan ban melawan derasnya air dengan aman.
Mitos yang melegenda ini akhirnya terpatahkan dengan adanya korban yang justru dari masyarakat asli sekitar Kali Kuto. Berawal dari sekitar tahun 2016 ada pencari batu dari Mentosari yang tenggelam dan baru ditemukan dua minggu kemudian di Bendungan Kedung Asem. Kemudian disusul tahun 2022 warga desa Sambongsari Kecamatan Weleri yang tenggelam ketika bermain di bawah jembatan pantura Kali Kuto dan ditemukan tiga hari kemudian di perairan Demak. Sejak saat itu korban terus berjatuhan dari masyarakat lokal.
Tiga bulan terakhir keganasan Kali Kuto maupun anak sungainya berturut-turut memakan empat korban. Tanggal 6 Maret 2025 Dafa Fayat Islami, 12 tahun warga desa Madugowong Kecamatan Gringsing tenggelam di Kali Jahan yang merupakan anak sungai Kali Kuto. Sampai detik ini jasad Dafa belum ditemukan.
Kemudian tanggal 7 Mei 2025 Viki Yudha Pratama dari desa Kebumen Kecamatan Tersono tenggelam saat bermain bersama teman-temannya di Kali Belo dan ditemukan keesokan harinya di muara Kali Kuto. Senin 25 Mei 2025 Muhammad Irfan, 16 tahun warga desa Gringsing terseret arus Kali Kuto saat menikmati pemandangan senja di Dam penahan arus di bawah jembatan Pantura Kali Kuto. Jasad Muhammad Irfan ditemukan tiga hari setelahnya di Rowosari Kendal tersangkut di tiang pancang pembangunan jembatan.
Dan yang terbaru pada Selasa (03/06/2025) Alif Bagus Santoso, 28 tahun warga desa Krengseng Kecamatan Gringsing terseret arus di pintu air irigasi Kali Kuto dan ditemukan sudah meninggal dunia tiga jam kemudian sekitar 1 kilometer dari titik awal tenggelam.
Dari empat kejadian terakhir menjadi obrolan hangat dan mengaitkan dengan misteri yang selama ini menyelimuti Kali Kuto. “Keempat korban semuanya laki-laki dan masih berusia muda. Ada apa ini?”, ujar sekelompok orang yang sedang nongkrong di angkringan. Cerita tentang penunggu Kali Kuto yang berwujud siluman ular dan buaya putih sampai kondisi negara yang carut marut menjadi bumbu penyedap.
Ustad Muhammad Nur, tokoh agama dari desa Gringsing menanggapi kejadian ini dengan bijak. Dikatakannya jika kita ini sebenarnya hidup berdampingan dengan bangsa lain tak kasat mata seperti jin dan setan.
Hanya saja kita tidak tahu dan tidak bisa melihat tapi mereka bisa melihat kita. “Mereka selalu mengganggu dengan tujuan melemahkan iman kita”, ujar pimpinan Pondok Pesantren An-Nur ini. Ustad muda ini juga sering menyepi di tepi Kali Kuto sambil berdo’a untuk keselamatan bersama. Lebih jauh Ustad Nur mengungkapkan alasan mengapa dulu tidak ada warga lokal yang tenggelam. Menurutnya, orang-orang tua dulu mengenal Kali Kuto dengan baik dan mengetahui seluk-beluk serta lokasi yang rawan seperti pusaran sehingga dihindari.
Orang dulu tidak gegabah sembarangan melakukan sesuatu yang menjadi pantangan sehingga tidak terjadi gesekan dengan penunggu tak kasat mata. Keseimbangan alam juga dijaga dengan baik. Jika ada yang menjala ikan maka akan diambil seperlunya saja. “Beda dengan sekarang yang asal-asalan bahkan merusak alam”, ucap Ustad Nur.
Dari Ustad Muhammad Nur kami menemui Abdullah Azzam, seorang bocah indigo berusia 15 tahun dari desa Weleri. Nama Azzam menjadi perbincangan karena menunjuk dengan tepat koordinat lokasi jasad Muhammad Irfan sehari sebelum ditemukan .
Azzam menceritakan apa saja yang dilihat tentang Kali Kuto, mulai dari siluman buaya putih di bawah Jembatan Merah, siluman ular di jembatan pantura dan istana megah yang terletak di antara jembatan Daendels dan jembatan kereta api.
Dengan mata batinnya Azzam melihat ada istana yang berdiri megah dan dijaga banyak prajurit. Penguasa istana itu adalah seekor ular berkepala manusia perempuan berhias mahkota. Selain mahkota juga ada permata besar yang menyatu dengan kepalanya. “Di istana itu ada ratusan kamar kecil seperti penjara. Di situlah arwah orang-orang yang tenggelam berada. Tapi kamar itu masih banyak yang kosong. Berarti lelembut itu tetap akan mengambil tumbal”, ucap Azzam setengah ketakutan.
Seperti halnya Ustad Muhammad Nur, Abdullah Azzam juga menegaskan tidak ada kaitan antara Alas Roban dan Kali Kuto meskipun sama angkernya. Secara terpisah kedua orang ini berpesan untuk menghindari Kali Kuto menjelang maghrib baik untuk bermain, berenang atapun sekedar menikmati pemandangan.
Source : Edi S Febri - Jawa Pos