Wawancara Tokoh : Sukri Budi Dharma (Butong Idar) "Menyuarakan Disabilitas Lewat Kanvas dan Aksi"

Kamis, 5 Jun 2025 08:00
Seniman dan aktivis disabilitas Sukri Budi Dharma (Butong) mendedikasikan hidupnya untuk memberdayakan seniman difabel melalui Jogja Disability Arts (JDA). JDA

NARASINETWORK.COM -  Butong Idar, seorang seniman dan aktivis, memiliki perjalanan hidup yang luar biasa. Sejak kecil, bakatnya di bidang seni telah terlihat melalui kecintaannya pada menggambar dan menciptakan karya dari barang-barang sederhana.

"Bukan keterbatasan yang mendefinisikan kita, melainkan bagaimana kita memanfaatkan potensi yang ada."

Setelah menempuh pendidikan seni di IKJ dan psikologi di Universitas Gunadarma, ia menggabungkan kedua keahliannya untuk memberdayakan seniman disabilitas. Ia mendirikan komunitas Difabel and Friends Community (2009) yang kemudian berkembang menjadi Yayasan Jogja Disability Arts (JDA) (2020).

Perjalanan ini mencerminkan komitmennya untuk menciptakan ruang bagi seniman disabilitas untuk berekspresi dan berkarya, sekaligus memperjuangkan inklusi sosial melalui seni. Karya-karyanya, yang seringkali mengangkat tema sosial dan personal, menjadi cerminan dari perjalanan hidup dan perjuangannya.

NARASINETWORK.COM berkesempatan mewawancarai Butong Idar, berikut petikan wawancara kami :

I. Perjalanan Pribadi dan Karier Seni:

1. Latar Belakang dan Awal Karier:

Bisakah Bapak menceritakan sedikit tentang perjalanan hidup Bapak, khususnya yang mengantarkan Bapak pada dunia seni dan aktivitas seni hingga saat ini?

Apa yang memotivasi Bapak?

J : Jauh sebelum saya menekuni dunia seni secara profesional, saya memang sudah dari kecil senang mencorat-coret, membuat sesuatu dari barang-barang yang ada. Misalnya, kardus dan kaleng saya jadikan bentuk mobil. Ketika sekolah, saya paling senang pelajaran kesenian dan prakarya. Karena hobi itu, saya mencoba masuk ke pendidikan seni dan diterima di IKJ tahun 1994, mengambil jurusan seni lukis. Namun, saya tidak menyelesaikannya hingga sekitar tahun 1997/1998 dan memutuskan keluar. Tahun 1999, saya mencoba kuliah psikologi di Universitas Gunadarma dan menyelesaikannya.

2. Pengalaman Pendidikan :

Bagaimana pengalaman pendidikan Bapak, baik di Institut Kesenian Jakarta maupun Universitas Gunadarma, membentuk keahlian dan wawasan Bapak dalam seni dan kehidupan?

J : Jelas, pengalaman di kedua kampus tersebut membentuk cara berpikir, relasi, dan wawasan saya. Kedua kampus memiliki karakter dan atmosfer yang sangat berbeda.

3. Perkembangan Seni Personal :

Bisakah Bapak menjelaskan perkembangan gaya dan tema karya seni Bapak dari waktu ke waktu?

Apa inspirasi di balik karya-karya Bapak?

 J : Justru, tema karya seni saya banyak mengangkat tema sosial dan tema personal.

4.Tantangan sebagai Seniman Difabel :

Apa tantangan terbesar yang Bapak hadapi sebagai seniman difabel dalam berkarya dan mendapatkan pengakuan di Indonesia?

Bagaimana Bapak mengatasi tantangan tersebut? 

J : Alhamdulillah, saya secara pribadi tidak mengalami kesulitan signifikan dalam hal mobilitas, akses, dan jejaring. Namun, saya melihat ruang untuk disabilitas sebagai pelaku seni di Indonesia masih sangat minim dalam beberapa hal.

II. Jogja Disability Arts (JDA) :

Pembentukan, Visi, Misi, dan Program:

5. Berdirinya JDA :

Apa yang mendorong Bapak mendirikan JDA?

Bagaimana proses pembentukannya dan tantangan awal yang dihadapi?

J : JDA berawal dari komunitas Difabel and Friends Community yang saya dirikan pada tahun 2009 di Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta. Komunitas ini bertujuan memotivasi, menggali, mewujudkan, dan meningkatkan potensi sumber daya manusia disabilitas (daksa, netra, tuli, dan intelektual) agar dapat hidup kreatif dan mandiri serta mampu mengaktualisasikan diri dalam masyarakat.

Selama sepuluh tahun, perkembangan komunitas cukup positif, namun kerjasama dengan pihak luar dan stakeholder kurang berjalan optimal, mungkin karena berbentuk komunitas. Tahun 2018, saya bertemu dengan Nano Warsono (dosen ISI Yogyakarta dan seniman), dan kami banyak berdiskusi tentang seni disabilitas.

Untuk memberikan manfaat yang lebih luas dan legalitas hukum, pada tahun 2020 didirikanlah Yayasan Jogja Disability Arts (JDA). Selain Mas Nano, ada Mas Agus Yulianto, Mba Teresia, dan Jajang Kawentar (seniman, akademisi, dan penulis seni) yang juga turut mendirikan.

6. Visi dan Misi JDA :

Bagaimana JDA mendefinisikan misi dan visinya, serta bagaimana kedua hal tersebut saling berkaitan dalam mencapai tujuan jangka panjang organisasi?

J : Jadi, visi JDA adalah mewujudkan partisipasi penuh dan kesetaraan kesempatan bagi disabilitas dalam bidang seni budaya di tingkat nasional dan internasional.

Misi JDA meliputi:

1. Mengupayakan kemitraan yang saling menguntungkan dan bermartabat dengan mengoptimalkan potensi disabilitas.

2. Melakukan kampanye kepedulian dan kesadaran publik melalui seni.

3. Meningkatkan layanan edukasi dan pengembangan sumber daya manusia di bidang seni rupa.

4. Meningkatkan aktivitas pameran dan publikasi seni rupa di tingkat nasional dan internasional.

5. Memberdayakan disabilitas agar menjadi pelaku pembangunan yang mandiri, produktif, dan berintegrasi.

7. Program dan Kegiatan JDA :

Bisakah Bapak menjelaskan program-program unggulan JDA dan bagaimana program tersebut dirancang untuk memberdayakan seniman disabilitas dan mempromosikan seni inklusif?

JDA memiliki beragam program unggulan yang dirancang secara holistik untuk memberdayakan seniman disabilitas dan mempromosikan seni inklusif. Beberapa pendekatan yang kami terapkan antara lain:

- Pendidikan dan Pelatihan: Kami menyediakan workshop dan pelatihan seni rupa serta pertunjukan khusus bagi penyandang disabilitas. Kami juga menawarkan pelatihan pendampingan di galeri dan museum, serta menyelenggarakan seminar, diskusi, dan talkshow untuk masyarakat luas. Tujuannya meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan kepercayaan diri para seniman difabel.

- Penguatan Ekonomi dan Perlindungan Hukum: JDA mengelola artspace dan artshop inklusif untuk memajang dan menjual karya seni para seniman difabel. Kami juga memberikan pelatihan dengan mentor dari kalangan penyandang disabilitas, serta membantu akses BPJS Ketenagakerjaan. Inisiatif ini bertujuan meningkatkan kemandirian ekonomi para seniman.

- Pameran dan Publikasi: Kami aktif menyelenggarakan pameran karya disabilitas di tingkat nasional dan internasional, termasuk Jogja International Disability Arts Biennale. Kami juga melakukan publikasi dan seminar terkait untuk memperluas jangkauan dan pengakuan karya seni para seniman difabel.

- Kolaborasi Internasional: Partisipasi JDA dalam seminar internasional di beberapa negara ASEAN dan komunitas seni di Inggris, serta kolaborasi mural dan instalasi di berbagai negara (Yogyakarta, Wales, Bristol, Thailand) menunjukkan komitmen kami untuk mempromosikan seni inklusif di tingkat global dan membangun jejaring internasional.

- Talkshow dan Sharing Session: Program talkshow dan sharing session kami difokuskan pada ekspresi diri melalui seni, memberikan platform bagi seniman difabel untuk berbagi pengalaman dan menginspirasi orang lain.

8. Kerjasama dan Kolaborasi JDA :

Bagaimana JDA membangun dan memelihara kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga seni, komunitas lain, dan seniman internasional, untuk mencapai tujuannya?

J : Justru, salah satu fokus kami adalah meningkatkan potensi teman-teman disabilitas dalam berkarya, dan menampilkan karya-karya tersebut agar masyarakat dan pemerintah mengetahui potensi ini dan memberikan ruang serta dukungan yang dibutuhkan. Berjejaring dengan pihak luar juga dilakukan melalui kolaborasi yang bermakna dan setara.

9. Tantangan dan Keberhasilan JDA :

Apa tantangan terbesar yang dihadapi JDA dalam menjalankan program dan kegiatannya? Apa keberhasilan dan pencapaian yang paling membanggakan yang telah diraih JDA?

J : Justru, tantangan terbesar adalah mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Keberhasilan JDA antara lain penyelenggaraan Jogja International Disability Arts Biennale (dengan partisipasi 12 negara pada penyelenggaraan terakhir) dan Suluh Sumurup Art Festival. Kami juga telah membantu beberapa seniman disabilitas untuk memasuki ruang-ruang seni yang lebih luas di masyarakat.

10. Keberlanjutan JDA :

Apa rencana JDA untuk memastikan keberlanjutan organisasi dan program-programnya di masa depan, termasuk strategi pengembangan sumber daya manusia dan keberlanjutan pendanaan?

J : Jadi, kami menyewa satu tempat untuk dijadikan artspace yang akan kami sewakan. Dana sewa tersebut akan digunakan untuk operasional yayasan dan pengembangan potensi disabilitas, termasuk pelatihan. Selain itu, kami akan membuat artshop untuk menjual karya-karya teman-teman disabilitas.

III. Seni Disabilitas dan Dampaknya :

11. Seni Disabilitas di Indonesia:

Bagaimana Bapak melihat perkembangan seni disabilitas di Indonesia saat ini?

Apa potensi dan tantangannya?

J : Justru, perkembangannya cukup signifikan karena negara kita kaya budaya. Tantangannya banyak, salah satunya dukungan dari berbagai pihak terkait.

12. Peran Seni dalam Inklusi : 

Bagaimana menurut Bapak, seni disabilitas dapat berkontribusi terhadap perubahan sosial dan pemahaman masyarakat terhadap disabilitas?

J : Justru, nenek moyang kita sudah jauh melakukan pendekatan disabilitas melalui seni. Sebagai contoh, tokoh Punokawan dalam wayang sering ditampilkan, dan beberapa tokoh Punokawan ini sebenarnya mewakili disabilitas (dapat dicek di beberapa literatur). Jadi, isu disabilitas sudah dekat dengan masyarakat sejak dulu. Namun, cara pandang modern yang justru mengubahnya.

13. Pesan untuk Generasi Muda :

Apa pesan Bapak untuk generasi muda, khususnya seniman disabilitas, yang ingin berkarya dan berkontribusi di bidang seni?

J : Jangan pernah berhenti berkarya dan menggali potensi. Karena karya itu tidak mengenal batasan disabilitas.

Butong Idar, seorang seniman dan aktivis yang penuh semangat, membuktikan bahwa kreativitas tidak mengenal batasan. Dari hobi menggambar sejak kecil hingga mendirikan Yayasan Jogja Disability Arts (JDA), Butong telah menunjukkan dedikasi luar biasa untuk memberdayakan seniman disabilitas. Dengan latar belakang seni dan psikologi, ia memimpin JDA dalam menciptakan ruang bagi seniman difabel untuk berkarya, berkembang, dan diakui di panggung nasional dan internasional.

Kisah Butong menginspirasi kita semua untuk melihat potensi yang ada di setiap individu, terlepas dari keterbatasannya.

Berita Terkini