NARASINETWORK.COM - Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, kembali menegaskan esensi akurasi data dalam perumusan kebijakan pendidikan. Penegasan ini muncul seiring perhatian pada inkonsistensi data pokok pendidikan (Dapodik), termasuk laporan kondisi sekolah yang tidak sesuai fakta dan kasus guru yang telah meninggal dunia namun masih menerima tunjangan.
“Mari kita susun data yang jujur dan akurat. Jangan sampai ada guru fiktif yang tidak terdata, atau data guru yang sudah wafat masih menerima tunjangan,” kata Menteri Mu’ti.
Dalam kegiatan Sosialisasi Kebijakan Redistribusi Guru ASN Daerah dan Pendidikan Inklusif Regional Jakarta tahap 2, yang dihadiri oleh kepala dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota, kepala BKD, serta perwakilan pemerintah daerah, Menteri Mu’ti juga menekankan pentingnya sistem meritokrasi dalam redistribusi guru. Menurutnya, penempatan guru harus berdasar pada kinerja serta kebutuhan lapangan, bukan karena faktor personal atau politis.
“Redistribusi guru bukan sekadar urusan administrasi, melainkan bagian dari membangun sistem meritokrasi. Guru harus ditempatkan sesuai kebutuhan dan kinerjanya, bukan berdasar kedekatan,” tegasnya.
Menteri Mu’ti menjelaskan bahwa kebijakan redistribusi guru bukan sekadar perubahan arah akibat pergantian pimpinan, tetapi langkah strategis untuk memastikan pemerataan dan keadilan pendidikan.
“Kebijakan redistribusi ini bukan kebijakan ganti menteri, tapi langkah menuju pendidikan bermutu untuk semua dan layanan pendidikan yang inklusif serta berkeadilan,” imbuhnya.
Selain redistribusi guru, pemerintah terus memprioritaskan kebijakan pendidikan inklusif, dengan tujuan memastikan anak-anak berkebutuhan khusus memperoleh hak belajar yang setara. Menteri Mu’ti menjelaskan bahwa guru yang kurang jam mengajar akan diberi peluang menjadi guru pendidikan khusus, dengan fokus melayani pembelajaran bagi murid berkebutuhan khusus, asalkan memenuhi kualifikasi yang sesuai.
“Guru yang kurang jam mengajar juga bisa mendapat tugas tambahan sebagai koordinator pembelajaran pendidikan inklusif, dan tugas itu tetap dihitung dalam beban kerja. Ini bukan menambah beban, tapi memperluas makna pengabdian,” jelasnya.
Menteri Mu’ti juga menyoroti tantangan kultural yang menghambat pelaksanaan pendidikan inklusif, seperti pandangan negatif terhadap anak berkebutuhan khusus dan kasus perundungan di sekolah.
“Masih ada orang tua yang enggan anaknya belajar bersama anak berkebutuhan khusus. Padahal semua anak adalah makhluk Tuhan yang mulia. Pendidikan inklusif harus dimulai dari perubahan budaya,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru (Dirjen GTKPG), Nunuk Suryani, melaporkan bahwa kebijakan redistribusi guru ASN Daerah (ASND) dan pendidikan inklusif berjalan sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 1 Tahun 2025 dan Keputusan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Kepmendikdasmen) Nomor 82 Tahun 2025.
Nunuk Suryani menambahkan bahwa redistribusi guru kini berjalan dua kali setahun, yaitu April dan November, berbasis aplikasi digital Ruang SDM. Aplikasi ini telah digunakan oleh 132 pemerintah daerah dan 10 yayasan pendidikan.
“Redistribusi guru dan pendidikan inklusif adalah dua kebijakan yang saling melengkapi: yang satu memastikan pemerataan tenaga pendidik, yang satu menjamin kesetaraan kesempatan belajar,” ujarnya.
Dirjen Nunuk juga menyampaikan data bahwa hingga Desember 2024, kekurangan guru nasional tercatat 374.154 orang, sementara terdapat kelebihan 62.764 guru ASN dan 166.618 guru non-ASN di sejumlah daerah. Pemerintah berencana melatih 18.000 guru pendamping khusus melalui fasilitator nasional pada tahun depan.
Menteri Mu’ti menutup sambutannya dengan menekankan bahwa redistribusi guru dan pendidikan inklusif akan memperkuat landasan layanan pendidikan di seluruh Indonesia.
“Aturan ini dibuat untuk kepentingan yang lebih besar, memastikan pendidikan bermutu untuk semua, memberi layanan inklusif yang berkeadilan, serta menjamin guru mendapat haknya,” pungkasnya.
Dengan penataan guru berbasis data dan sistem meritokrasi, diharapkan pemerataan layanan pendidikan di seluruh Indonesia terwujud, sejalan dengan amanat konstitusi dan visi Indonesia Emas 2045.
