NARASINETWORK.COM - Di balik ramainya demonstrasi mahasiswa yang kembali ramai akhir-akhir ini di berbagai kota besar Indonesia, ada cerita lain yang sering terlewatkan, yaitu kisah para mahasiswa rantau yang sedang berjuang beradaptasi dan menjaga jati diri di tengah kerasnya kehidupan perkotaan. Setiap tahunnya, ribuan pemuda dari berbagai penjuru nusantara meninggalkan kampung halaman untuk melanjutkan pendidikan di kota besar. Mereka datang dengan semangat, harapan, dan tentu membawa nilai-nilai budaya yang selama ini membentuk diri mereka.
Begitu mereka menginjakkan kaki di kota besar, mereka dihadapkan pada tantangan baru yang tidak dipelajari selama di sekolah. Kota besar memiliki budaya sendiri: cepat, individualistis, kompetitif, dan penuh tekanan. Berbeda jauh dengan budaya asal yang mungkin lebih kolektif, hangat, dan berakar kuat pada kekeluargaan serta tradisi. Dalam situasi ini, mahasiswa rantau sering kali terombang-ambing akan identitasnya. Di satu sisi, mereka ingin mempertahankan nilai dan identitas budaya asal. Disisi lain, mereka merasa perlu menyesuaikan diri agar bisa diterima oleh lingkungan sekitar dan tidak dianggap “berbeda”.
Benturan budaya seperti ini tidak jarang memicu konflik batin. Mahasiswa yang terbiasa menyapa semua orang dengan ramah di rumahnya, kini merasa canggung karena dianggap terlalu “berisik” atau “berlebihan”. Mahasiswa yang biasa mengutamakan gotong royong kini bingung ketika harus bersaing secara individu. Ada pula yang mulai mempertanyakan cara berpakaian, bicara, bahkan cita-cita yang dulu dibanggakan perlahan mereka bisa merasa kehilangan arah dan identitas diri jika tidak didampingi.
Menurut Teori Akulturasi (John Berry), orang yang pindah ke lingkungan budaya baru bisa mengalami empat kondisi: pertama, asimilasi, di mana individu melebur sepenuhnya ke budaya baru dan meninggalkan budaya asal; kedua, separasi, yaitu mempertahankan budaya lama dan menolak berbaur dengan lingkungan baru; ketiga, integrasi, di mana individu mampu memadukan dua budaya secara harmonis; dan keempat, marginalisasi, yaitu ketika seseorang merasa tidak sepenuhnya menjadi bagian dari budaya asal maupun budaya baru, sehingga terasing dari keduanya.
Fenomena ini sangat selaras dengan Teori Integrasi Budaya. Teori ini menyebutkan bahwa dalam proses adaptasi budaya, individu tidak harus memilih antara meninggalkan budaya lama atau sepenuhnya mengadopsi budaya baru. Sebaliknya, mereka bisa mengintegrasikan keduanya yaitu, memadukan nilai asalnya dengan realitas baru untuk membentuk identitak yang lebih utuh dan fleksibel. Dalam konteks mahasiswa rantau, mereka berusaha menciptakan ruang baru dalam diri mereka di mana nilai kampung halaman tetap hidup, namun tidak bertabrakan dengan nilai-nilai di kota besar. Sayangnya, ketika proses ini tidak berjalan mulus, banyak dari mereka justru merasa berada di tengah-tengah: tidak sepenuhnya cocok di budaya baru, tetapi juga merasa terasing dari budaya asal. Ini adalah bentuk krisis identitas kultural yang nyata dan butuh ditangani secara serius.
Pergulatan ini sering tidak terlihat oleh sepasang mata. Mereka mungkin terlihat aktif di kampus, ikut organisasi atau tampil biasa saja. Sebenarnya, dibalik itu banyak yang menyimpan kebingungan identitas, rasa tidak percaya diri, bahkan tekanan mental yang tidak terlihat. Oleh karena itu, penting bagi lingkungan kampus untuk memberi perhatian pada aspek ini, tidak hanya fokus pada pencapaian akademik.
Menghadapi tekanan adaptasi budaya di lingkungan kota besar, mahasiswa rantau membutuhkan lebih dari sekadar semangat dan tekad pribadi. Mereka membutuhkan ruang aman, dukungan emosional, dan pendekatan konseling yang peka terhadap latar belakang budaya. Apa yang bisa dilakukan?
- Penting bagi kampus menyediakan layanan konseling yang peka terhadap latar belakang budaya mahasiswa. Salah satu pendekatan yang bisa diterapkan adalah konseling naratif berbasis budaya. Dalam pendekatan ini, mahasiswa diajak untuk menceritakan ulang perjalanan hidup mereka sebagai individu dari daerah tertentu yang kini hidup di lingkungan baru. Dengan bimbingan konselor, mereka dapat mengubah narasi yang semula dipenuhi kebingungan, keterasingan, atau perasaan “berbeda” menjadi kisah yang memberdayakan. Cerita-cerita ini bisa menjadi refleksi yang memperkuat identitas, bukan malah menenggelamkannya.
- Membentuk kelompok dukungan sebaya lintas budaya, semacam komunitas diskusi santai yang mempertemukan mahasiswa dari berbagai daerah. Di ruang ini, mereka bisa saling bercerita, berbagi strategi adaptasi, dan menumbuhkan rasa solidaritas. Kegiatan seperti ini sederhana, tapi sangat penting untuk mengurangi rasa kesepian dan terputusnya identitas budaya yang sering dialami mahasiswa rantau.
- Tak kalah penting adalah pelatihan khusus bagi konselor dan tenaga pendidik tentang sensitivitas budaya. Banyak kasus ketidaknyamanan mahasiswa rantau terjadi bukan karena niat buruk, melainkan karena kurangnya pemahaman akan perbedaan budaya. Melalui pelatihan ini, konselor dan tenaga pendidik bisa belajar cara berkomunikasi yang sesuai, memahami ekspresi emosional dari berbagai budaya, serta menghindari pendekatan yang terlalu normatif berdasarkan budaya dominan.
Pada akhirnya, menjadi mahasiswa rantau bukan hanya tentang belajar mata kuliah, lulus ujian, atau mendapatkan gelar. Hal ini merupakan perjalanan personal yang sangat penting, yaitu perjalanan untuk mengenal diri sendiri, menemukan keseimbangan antara masa lalu dan masa depan, serta belajar bagaimana menjadi bagian dari dunia yang lebih luas tanpa harus mengorbankan siapa diri kita sebenarnya. Jika kampus dan masyarakat mau memberi ruang dan dukungan yang tepat, maka para mahasiswa rantau ini tidak harus memilih antara dua dunia. Mereka bisa berdiri teguh di tengah keduanya dan menjadi jembatan budaya, pembawa perubahan, dan pribadi yang tangguh.