NARASINETWORK.COM - Animasi sebagai produk budaya populer memiliki kekuatan yang besar dalam membentuk cara pandang masyarakat, terutama generasi muda, terhadap realitas sosial di sekitarnya. Salah satu contoh yang menonjol di kawasan Asia Tenggara adalah animasi Upin & Ipin produksi Les’ Copaque, yang telah menjadi tontonan favorit tidak hanya di Malaysia, tetapi juga di negara lain seperti Indonesia, Brunei, dan Singapura. Secara umum diterima bahwa serial ini unggul dalam berbagi cerita tentang anak-anak yang mewakili keragaman warna-warni yang ditemukan dalam masyarakat Malaysia. Namun, diskusi telah dimulai mengenai bagaimana pertanyaan-pertanyaan tentang ras dan etnisitas disajikan dalam animasi ini. Banyak ahli budaya dan pengguna online yang menunjukkan bahwa karakter Upin & Ipin sering muncul sebagai anggota stereotip dari komunitas etnis yang berbeda. Banyak seperti Jarjit Singh (etnis India), Mei-mei (etnis Tionghoa) berbicara dengan aksen konyol dan sering kali melakukan gestur yang berlebihan. Berbicara dengan gaya puitis yang dimaksudkan sebagai lelucon, Jarjit selalu mengenakan ekspresi kaku dan karakter Mei-mei sering ditampilkan rapi, disiplin, dan sangat banyak bicara. Meskipun mencoba untuk menekankan aspek tradisional, penggambaran seperti itu dapat mengarah pada citra tunggal dan sempit dari kelompok etnis tersebut.
Hal yang menjadi perhatian utama bukan hanya soal keberadaan karakter-karakter dari berbagai latar etnis, melainkan bagaimana narasi dan perlakuan terhadap mereka dalam alur cerita. Tampaknya karakter-karakter utama memiliki kekuatan yang lebih besar dalam membentuk cerita. Dalam setiap cerita, karakter Melayu seperti Upin, Ipin, Kak Ros dan Opah menjadi pusat perhatian, sementara yang lainnya hanya sebagai pelengkap. Akibatnya, beberapa kelompok etnis terlihat lebih penting, memperkuat narasi mayoritas kepada penonton terutama anak-anak, bahwa satu kelompok tampil lebih dominan.
Dampak dari representasi semacam ini tidak bisa diremehkan. Pada awalnya, hal ini berperan dalam membentuk stereotip saat anak-anak masih sangat muda. Menonton Upin & Ipin secara teratur akan memungkinkan anak-anak untuk mulai mengambil pelajaran sosial dan budaya dari karakter-karakter dalam animasi tersebut. Penggunaan stereotip umum secara tidak adil dapat menyebabkan penonton menerapkan sifat-sifat tersebut pada lingkungan kehidupab yang sebenarnya. Hal ini dapat menyebabkan kebiasaan berpikir yang bertahan hingga dewasa. Selain itu, masyarakat di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia sangat bergantung pada ruang-ruang diskusi antar budaya yang positif. Namun, media yang memviralkan stereotip dan ketidaksetaraan mempersempit ruang untuk percakapan antar individu. Kelompok minoritas mungkin merasa tidak diikutsertakan, terkadang diperlakukan secara tidak adil, ketika suara mereka tidak cukup terwakili. Seiring berjalannya waktu, hal ini dapat melemahkan sebuah komunitas etnis dan dukungan bersama di antara berbagai kelompok etnis yang terdapat dalam masyarakat yang beragam. Selain itu, melihat hal-hal yang tidak sensitif di media sering kali membuat orang merasa normal untuk berperilaku bias dalam kehidupan sehari-hari. Hiburan ringan yang diulang-ulang membantu masyarakat menerima dan bahkan memaklumi bias ras dan gender. Akibatnya, masyarakat menerima dominasi beberapa budaya, sementara memperlakukan mereka yang berasal dari budaya yang berbeda sebagai sesuatu yang aneh atau tidak biasa.
Untuk memahami lebih dalam dampak representasi etnis dalam animasi seperti Upin & Ipin, kita dapat menggunakan kerangka Cultural Integration Theory. Cultural Integration Theory atau Teori Integrasi Budaya menekankan pentingnya penggabungan nilai, identitas, dan ekspresi budaya yang beragam dalam sebuah sistem sosial atau medium komunikasi, termasuk media masa dan hiburan. Integrasi budaya yang sehat terjadi ketika semua kelompok etnis dan budaya diberikan ruang yang setara untuk menampilkan nilai-nilainya, tanpa harus kehilangan jati diri atau tunduk pada dominasi budaya tertentu. Dalam konseling, teori ini membantu konselor memahami dinamika dominasi-budaya dan eksklusi sosial yang bisa berdampak pada harga diri dan identitas individu, terutama anak-anak dan remaja dari kelompok minoritas. Jika kita menggunakan Teori Integrasi Budaya pada Upin & Ipin, kita melihat bahwa meskipun Upin dan Ipin tidak benar-benar merepresentasikan integrasi, animasi ini menyoroti seperti apa budaya Melayu sehari-hari, sambil menambahkan budaya lain sebagai elemen sekunder. Mereka yang ditampilkan sebagai karakter utama dalam serial ini, termasuk Upin, Ipin, Kak Ros, Opah, dan para guru, berasal dari kelompok Melayu dan mengendalikan segala sesuatu mulai dari apa yang terjadi hingga nilai-nilai dan aturan-aturan yang mendasari animasi tersebut. Sementara itu, Jarjit Singh dari India dan Mei Mei dari Cina hanya hadir sebagai karakter minor dan terkadang dibuat untuk memberikan komedi yang berlebihan.
Dalam pandangan teori ini, integrasi yang sesungguhnya adalah tentang memastikan bahwa karakter yang beragam ditampilkan dalam peran yang penting dan tidak didiskriminasikan. Karakter-karakter non-Melayu dalam Upin & Ipin bukanlah bagian penting dari masalah atau solusi yang paling penting. Jika kita melihat Jarjit, ia jarang sekali mendapatkan perkenalan yang mendalam atau alur cerita yang rumit, penonton tertarik padanya terutama karena ia selalu berbicara dan tertawa. Hal ini berarti bahwa ia ada di sana hanya untuk mengisi kekosongan komedi dan tidak memiliki bagian nyata dalam cerita. Masalah ini muncul ketika sebagian besar penonton serial ini masih terlalu muda dan masih belajar tentang siapa diri mereka. Menyediakan representasi budaya yang setara dalam media untuk anak-anak supaya mencegah satu budaya diterima sebagai budaya yang lebih baik atau lebih penting dan oleh karena itu melindungi dari ketidaksetaraan psikososial. Beberapa anak minoritas mungkin percaya bahwa budaya mereka tidak sepenting budaya kelompok mayoritas. Anak-anak dari kelompok mayoritas biasanya secara tidak sadar merasa bahwa kelompok mereka lebih unggul secara budaya.
Untuk meningkatkan representasi dalam animasi Upin & Ipin, kita membutuhkan cerita dengan ide-ide yang setara dan memperkaya antar budaya, tidak hanya karakter yang berbeda dari latar belakang yang berbeda. Produser animasi harus memberikan perhatian yang lebih besar kepada karakter non-Melayu dalam narasi mereka dengan memperluas cerita Jarjit untuk mencakup nilai-nilai budaya, keluarga, emosi, dan identitas budayanya. Selain itu, tim yang bertanggung jawab atas konten harus mengundang ahli multikulturalisme atau psikolog budaya, sehingga tidak ada stereotip yang disertakan dan representasi yang sebenarnya dipertahankan. Guru BK atau konselor dapat mendukung dan mengembangkan literasi media multikultural dengan meminta siswa untuk merefleksikan komedi situasi populer, menunjukkan dengan tepat peran yang dimiliki setiap karakter, dan memahami pentingnya belajar tentang berbagai aspek penceritaan. Pemerintah dan kementrian pendidikan dapat membantu memproduksi media anak-anak yang berorientasi integratif, di mana semua karakter dari latar belakang apa pun sangat penting dan positif, sehingga media secara akurat menampilkan integrasi budaya.