NARASINETWORK.COM - Thomas Akaraya Sogen, lahir di Pulau Solor, Flores Timur, 22 Desember 1963, adalah seorang pensiunan guru Bahasa Inggris yang telah meninggalkan jejak berharga dalam dunia pendidikan dan kepenulisan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kisah hidupnya mencerminkan perjalanan inspiratif seorang anak petani yang mampu meraih prestasi gemilang melalui kegigihan dan kecintaannya pada dunia tulis-menulis.
Masa Muda dan Awal Karier Menulis :
Masa kecil Thomas di Pulau Solor, yang masih terbelakang infrastrukturnya pada tahun 1960-an, dipenuhi keterbatasan. Namun, di tengah keterbatasan tersebut, ia menemukan kecintaannya pada membaca dan menulis. Sejak sekolah dasar, ia rajin membaca majalah Kunang-Kunang dan Dian di rumah gurunya, meniru gaya penulisan yang dibacanya. keberaniannya mengirim tulisan tentang kunjungan para biarawan-biarawati di Solor ke majalah Dian di Ende membuahkan hasil, tulisannya dimuat. Keberhasilan ini menjadi titik balik yang semakin menguatkan semangatnya. Ia juga aktif mengirimkan pesan ke Radio Australia, bahkan pernah masuk tiga besar pengirim pesan terbanyak. Baginya, ini bukan sekadar hobi, tetapi juga cara untuk memperkenalkan kampung halamannya yang terpencil kepada dunia luar.
Prestasi akademiknya juga cemerlang. Ia terpilih sebagai siswa teladan SMA Surya Mandala tahun 1983, sebuah sekolah favorit di Flores Timur. Kisah suksesnya di sekolah ini pun ia tuangkan dalam tulisan yang dimuat di Majalah Hidup.
Pengabdian di Dunia Pendidikan dan Agupena :
Setelah menamatkan pendidikan, Thomas mengabdi sebagai guru Bahasa Inggris dan kemudian menjadi pengawas sekolah di Kabupaten Kupang. Namun, kecintaannya pada dunia tulis-menulis tak pernah padam. Pada tahun 2014, ia mendirikan Agupena Provinsi NTT dan turut serta mendirikan cabang Agupena di beberapa kabupaten, seperti Flores Timur, Lembata, Ngada, dan Timor Tengah Selatan. Ia memimpin Agupena NTT selama dua periode (2014-2018 dan 2018-2022) dan kini menjabat sebagai Wakil Ketua I Dewan Pimpinan Pusat Agupena periode 2022-2026.
Melalui Agupena, Thomas berperan sebagai motivator dan inspirator bagi para guru di NTT. Ia mendorong mereka untuk menulis dan menyuarakan aspirasi serta keresahan mereka melalui tulisan. Ia dikenal sebagai sosok yang sederhana namun memiliki pikiran yang luas dan inspiratif. Komitmennya terhadap Agupena sangat tinggi; ia selalu hadir dalam setiap kegiatan, tanpa mempersoalkan waktu dan biaya transportasi. Dedikasi dan keteladanannya telah membuahkan hasil; banyak guru di NTT kini mampu menulis artikel, karya ilmiah, bahkan buku.
Thomas Akaraya Sogen bukan hanya seorang guru Bahasa Inggris dan pengawas sekolah yang berprestasi, tetapi juga seorang tokoh inspiratif yang telah melahirkan banyak guru penulis di NTT. Kisah hidupnya membuktikan bahwa keterbatasan ekonomi dan geografis bukanlah halangan untuk meraih kesuksesan jika dibarengi dengan tekad, kerja keras, dan kecintaan pada bidang yang digeluti. Ia telah meninggalkan warisan yang berharga bagi dunia pendidikan dan kepenulisan di NTT, dan namanya akan selalu dikenang sebagai "Gurunya Para Guru Penulis NTT". Ia pensiun sebagai guru dengan pangkat tertinggi di Provinsi NTT, bukti nyata bahwa aktivitas menulis yang ditekuninya sejak awal karier telah memberikan manfaat besar dalam hidupnya.
NARASINETWORK.COM berkesempatan berbincang dengan Bapak Thomas Akaraya Sogen, sosok di balik kesuksesan Agupena dalam memberdayakan guru-guru di NTT untuk menulis dan menyuarakan aspirasinya.
Berikut petikan wawancara kami :
1) Proses penyuntingan buku otobiografi 320 halaman tersebut, apa saja tantangan terbesar yang Bapak hadapi dan bagaimana Bapak mengatasinya?
J : Tugas seorang editor (media lain menyebutnya sebagai penyelaras bahasa) adalah 'meluruskan' tata bahasa tulis para penulis. Dalam kasus buku biografi seorang pejabat yang berjumlah 320 halaman, buku ini ditulis oleh sebuah tim yang beranggotakan 8 orang dengan karakter bahasa tulis yang berbeda-beda. Sehingga, sangat dibutuhkan kejelian seorang penyunting untuk melihatnya secara total. Akan berbeda jika hanya seorang penulis, pasti sudah diketahui secara persis karakter bahasa tulisnya. Itu sebuah tantangan tersendiri.
Meskipun mereka rata-rata adalah para guru, tetapi harus diakui bahwa tidak semua dari mereka memiliki kemampuan bahasa yang baik dan benar, apalagi bahasa tulis. Meskipun sudah lama berkecimpung dalam dunia penulisan, namun harus diakui bahwa belum banyak juga yang saya tulis. Saya masih harus banyak belajar, apalagi dalam proses menyunting naskah-naskah dengan ciri khas seperti di atas. Pada saat menyunting, saya selalu berkonsultasi dengan apa dan siapa saja, termasuk membuka kamus kalau itu soal penggunaan diksi yang benar.
Apakah diksi tersebut asli Bahasa Indonesia atau bahasa asing yang harus langsung dibuat italic, termasuk penulisan yang benarnya. Seperti 'menerjemahkan' atau 'menterjemahkan' atau "dipersilakan' atau 'dipersilahkan', dan lain-lain. Kelihatan sepele tetapi sangat urgen. Dan masih banyak contoh lain yang dianggap hal kecil, namun sesungguhnya sangat prinsip dalam berbahasa tulis.
2) Selain Agupena, adakah organisasi atau komunitas lain yang Bapak ikuti dan bagaimana peran tersebut mendukung kegiatan menulis Bapak?
J : Jujur, saya tidak pernah terlibat di organisasi lain, kecuali Agupena. Hal ini sesungguhnya hanya soal konsistensi saja. Saya berusaha untuk konsisten dengan jalur pilihan saya, yakni terus mendorong sebanyak mungkin rekan-rekan guru untuk menulis sebagai bagian dari sebuah budaya masyarakat terdidik. Motivasi awalnya yang sangat 'murahan' yakni guru menulis agar bisa mendapatkan angka kredit agar bisa naik pangkat setinggi-tingginya.
Dalam perjalanan waktu, saya akhirnya menyadari jika guru (dan siapa saja) menulis tidak untuk tujuan sesimpel itu, bahkan untuk sebuah tujuan jangka sangat pendek. Padahal, hasil menulis nantinya akan menjadi sebuah warisan yang tidak bisa dinilai dengan apa pun, minimal untuk anak/cucu dan generasi mendatang.
3) Apa saran Bapak bagi pemerintah daerah dalam mendukung perkembangan literasi di NTT?
J : Baru tahun lalu, Pemprov NTT meluncurkan program bernama Genta Belis: NTT membaca, NTT menulis. Program tersebut ada setelah ada temuan hasil survei sebuah NGO bahwa kemampuan literasi anak-anak NTT dari jenjang SD sampai SMA masih sangat rendah, bahkan ada pula mahasiswa yang juga dengan kondisi serupa, terutama pada semester-semester awal.
Hanya saja, program tersebut tidak dieksekusi secara tegas, namun hanya diserahkan saja ke sekolah sebagai ujung tombak untuk merealisasikan sesuai dengan sikon masing-masing sekolah.
Pertanyaannya adalah Pemprov hanya membawahi sekolah menengah, SMA/SMK, lalu bagaimana dengan jenjang pendidikan dasar SD dan SMP? Mereka berada di bawah kendali Pemkab/Pemkot. Bisa tidak sinkron ke bawah dan bisa gagal pada akhirnya program tersebut.
4) Bagaimana Bapak melihat peran media sosial dalam perkembangan literasi di NTT? Apakah ada dampak positif dan negatifnya?
J : Media sosial diakui memiliki peran yang luar biasa terhadap literasi. Dengan daya jangkau yang begitu besar, media sosial mampu menyebarkan info ke berbagai penjuru, sehingga dengan mudah sekali masyarakat mendapatkan informasi dalam waktu singkat. Namun, tentu literasi tidak sebatas ada yang menulis (di media sosial) dan ada yang membacanya.
Apalagi saat ini media sosial memberikan banyak aspek lain seperti ekonomis. Ada kecenderungan mencari nafkah juga di sana. Orang bisa memperoleh cuan dengan mengunggah konten setiap hari di berbagai media. Kebermanfaatan literasi lalu bergeser.
Belum lagi soal pemanfaatan media sosial yang bertanggung jawab. Ada banyak kasus di mana-mana soal penggunaan media sosial yang tidak bertanggung jawab.
Adakah yang berpikir memanfaatkan media sosial untuk sebuah sisi positif? Tahun lalu, saya berlibur ke kampung halaman di Flores. Saya tuliskan catatan perjalanan tersebut selama seminggu lebih di akun Facebook saya. Mulai dari sekolah di kebun, sekolah di kampung, SMP harus berjalan kaki 6 km pp, lalu ke SMA di pulau seberang sampai jadi siswa teladan kala tamat.
Lalu merayakan HUT ke-33 Pernikahan di kampung istri di Lembata, dan seterusnya. Ketika usai liburan, naskah-naskah tersebut terpikir untuk dijadikan buku otobiografi, memoar perjalanan hidup dan karya saya hanya dengan menambah beberapa tulisan lain.
Sebuah tren dari iseng menulis di media sosial menjadi sebuah buku yang diwariskan ke generasi mendatang.
Why not?
5) Apa rencana Bapak ke depan terkait kegiatan menulis dan membimbing guru-guru di NTT?
J : Saat ini, saya tidak lagi menjadi ketua Agupena wilayah NTT, namun menduduki posisi wakil ketua I DPP Agupena yang membawahi beberapa wilayah termasuk NTT sendiri. Meskipun tidak ikut membuat program di daerah, tapi ikut mengawali pelaksanaan kegiatan pendampingan penulisan, bahkan terlibat langsung sebagai narasumber dalam kegiatan-kegiatan penulisan bersama para guru. Para guru masih membutuhkan pendampingan dalam hal menulis.
Doping mesti terus diberikan agar mereka tidak berhenti berkarya melalui jalur menulis. Meskipun aturan terbaru sudah tidak lagi mewajibkan guru untuk menulis sebagai salah satu tupoksinya, namun justru itu menjadi tantangan bagi organisasi profesi seperti Agupena.
Apakah guru harus berhenti menulis? Tidak. Sekali lagi, tidak. Menulis tidak untuk jangka pendek apalagi tujuan murahan seperti naik pangkat, namun bagaimana memelihara peradaban ini melalui dunia tulis-menulis.
6) Apa perbedaan paling signifikan antara menulis di era 1970-an dan sekarang?
J : Memang sangat berbeda antara menulis era 70-an dan sekarang. Dulu, kita menulis tangan saja dan dikirim di kantor pos, lalu menulis dengan mesin ketik, masih dikirim lewat kantor pos atau fax. Saya mengalami itu ketika menulis ketika SMP dan SMA.
Beberapa naskah yang dimuat di media cetak kala itu ya seperti itu. Lama memang baru dimuat. Tapi itulah, beda zaman. Saya mengalami peralihan itu, hingga menulis dengan komputer dan laptop lalu mengirimnya di email atau web juga perangkat lainnya. Sangat dibutuhkan penyesuaian era/keadaan dan diri sehingga menulis tetap terpelihara hingga sekarang.
7) Apa kiat Bapak dalam menjaga konsistensi menulis di tengah kesibukan sebagai pensiunan guru dan aktivis literasi?
J : Strategi menjaga konsistensi menulis, harus selalu ada waktu untuk itu, membaca dan menulis. Saya membaca terus dari kegiatan mengedit naskah teman-teman yang menulis, juga dari buku-buku yang ada. Lalu setiap hari harus ada yang ditulis, apa saja, opini, puisi, kisah-kisah, inspirasi, dan lainnya.
Opini, meskipun hanya dimuat di media-media lokal tapi menjadi sebuah kebanggaan, dan naskah-naskah tersebut suatu saat juga berguna, bisa jadi buku ketika temanya pas. Demikian pun puisi, mencicilnya menuju antologi entah bersama para penulis lain atau antologi solo.
Baca juga: Wawancara Tokoh : Gilang Ramadhan "A Passion for History and Museums"
