NARASINETWORK.COM - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama UN Women dan UNFPA, menyelenggarakan acara UNiTE 2025 Film Screening and Discussions pada Jumat lalu (5/12/2025) sebagai bagian dari rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Kegiatan ini bertujuan memperdalam pemahaman publik dan memperkuat aksi bersama mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, termasuk kekerasan digital.
Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Wamen PPPA), Veronica Tan, menegaskan bahwa upaya mengakhiri kekerasan terhadap perempuan bukanlah pilihan semata, melainkan syarat mutlak bagi kemajuan nasional.
“Dunia digital bagaikan pedang bermata dua yang memiliki risiko namun juga menawarkan peluang. Kita harus memanfaatkan platform digital secara bersama untuk kampanye kolektif kita, sekaligus menggunakannya dengan tanggung jawab."
Setiap anak di Indonesia adalah tanggung jawab bersama kita. Itulah alasan mengapa kolaborasi dalam gerakan bersama untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan sangat penting, ungkap Wamen PPPA.
Selain itu, Wamen PPPA juga menekankan bahwa reformasi hukum harus berjalan seiring dengan keterlibatan publik dan pendidikan untuk membongkar norma-norma sosial yang memungkinkan kekerasan terus berlangsung.
“Budaya, media, dan narasi memiliki kekuatan besar dalam membentuk pandangan masyarakat tentang kesetaraan dan keadilan gender.
Sementara itu, Perwakilan UNFPA di Indonesia, Hassan Mohtashami, menyoroti kekuatan bercerita dalam kampanye untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.
“Cerita membantu kita memahami isu-isu kekerasan terhadap perempuan dengan lebih mudah. Mari kita terus menceritakan kisah-kisah ini. Mari kita ingat, apa yang kita lihat dalam film-film ini bukan sekadar cerita semata – ini adalah cerminan dari kenyataan yang terjadi di masyarakat.
Kisah-kisah ini menjadi realitas bagi begitu banyak perempuan dan anak perempuan di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Kita perlu menyadari bahwa ini adalah tanggung jawab bersama kita sebagai komunitas untuk memastikan perempuan dan anak perempuan hidup bebas dari kekerasan dan diskriminasi,” kata Hassan.
Perwakilan UN Women Indonesia sekaligus Liaison untuk ASEAN, Ulziisuren Jamsran, yang juga hadir, menyampaikan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan berakar pada ketidaksetaraan yang terus berlangsung dan akan semakin kuat jika dibiarkan tanpa tindakan. Ia juga menekankan pentingnya mengubah norma-norma sosial yang menormalisasi kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.
“Kisah-kisah yang ditampilkan di layar dapat membuka ruang aman untuk berdiskusi. Film memiliki kekuatan untuk mengubah cara pandang, membangkitkan empati yang mendorong aksi, serta menginspirasi setiap penonton untuk merefleksikan perannya dalam membangun lingkungan di mana perempuan dan anak perempuan dapat hidup bebas dari kekerasan dan keluar dari ketakutan yang selama ini membungkam mereka,” ungkap Ulziisuren.
Acara ini menandai peluncuran resmi lima film pendek yang diproduksi dalam program “UNiTE Short Film Fellowship 2025” – sebuah inisiatif yang didukung oleh Global Affairs Canada dan berkolaborasi dengan Siklus Indonesia, Minikino, ILO, UNDP, UNESCO, UNIDO, UN Volunteers, dan WHO.
Tema global tahun ini, “UNiTE to End Digital Violence against All Women and Girls”, menegaskan bahwa perkembangan teknologi telah memperluas bentuk-bentuk kekerasan, mulai dari penguntitan dan pelecehan daring, hingga eksploitasi berbasis gambar dan kekerasan psikologis.
