From Nana's Heart to Their Homes "Kue Natal Tanpa Batas Agama dan Negara"

Kamis, 18 Dec 2025 13:12
    Bagikan  
From Nana's Heart to Their Homes "Kue Natal Tanpa Batas Agama dan Negara"
Nana Wiyono

Meskipun kue akan habis dimakan, kehangatan dan pesan persatuan yang diciptakan akan tetap tinggal di hati semua orang.

NARASINETWORK.COM - Udara pagi di ruang kelas yang kami ubah jadi dapur kecil memang terasa sungguh berbeda. Aroma kayu manis yang hangat menyatu dengan vanilla. Di tengah meja yang ditutupi alas kain polos berwarna cream, berbagai bahan sudah tersusun rapi seperti pawai kecil, ada tepung terigu yang putih bersih seperti salju baru turun, mentega lembut meleleh, gula pasir bersinar kilap bak butiran kristal di bawah sinar matahari, dan telur ayam yang kami ambil dari lemari pendingin.

Saya Nana, berdiri di tengah kelompok sepuluh murid yang penuh semangat dan antusias di kamis pagi (18/12/2025) memimpin anak-anak asing dengan berbagai keyakinan dan latar belakang berbeda untuk membuat kue Natal bersama-sama.

Suara tawa riang murid kecil yang berlari-lari sambil membawa cetakan berbentuk pohon Natal, malaikat, dan bintang memenuhi setiap sudut ruangan. “Bu Nana, kenapa kita boleh membuat kue Natal padahal ibu sendiri tidak merayakannya ya?” tanya Han murid berkewarganegaraan Korea yang berada di kelas tiga dan selalu suka bertanya dengan mata yang cerah penuh rasa ingin tahu.

Saya mencium aroma cokelat batangan yang sudah mulai meleleh di atas kompor, lalu perlahan menoleh padanya dengan senyuman hangat yang datang dari dalam hati. “Karena sayang, kebahagiaan tidak mengenal batasan agama atau negara asal kita. Kita bukan hanya merayakan hari raya tertentu, tetapi lebih dari itu, kita merayakan kebersamaan yang menghubungkan hati kita semua.”

Saat Telur dan Gula Menjadi Bahasa Persahabatan :

Memulai proses pembuatan dengan langkah paling dasar dan penting, memecahkan telur satu per satu ke dalam mangkuk besar yang sudah siap di depan kita. Saya mengajak Jason, seorang murid baru dari USA yang baru beberapa bulan pindah ke Indonesia dan masih sedikit pemalu serta kurang percaya diri, untuk membantu saya mengaduk campuran telur dengan gula pasir.

Di sudut lain meja yang sama, kelompok lain sibuk menguleni mentega yang sudah dilelehkan bersama tepung terigu hingga menjadi tekstur yang lembut seperti kerikil pasir halus. Sarah, murid berkewarganegaraan Inggris yang setiap tahun selalu mengadakan pesta Natal besar-besaran bersama keluarga Kristennya di kampung halaman, dengan sangat sabar mengajari teman-temannya cara menguleg yang benar dan tepat. “Jangan terlalu kuat mengulegnya ya teman-teman,” katanya sambil menunjukkan gerakan tangan yang lembut dan terkontrol, “kalau kita mengulegnya terlalu keras dan terlalu lama, adonannya akan jadi padat dan hasilnya tidak akan lembut serta enak dimakan nantinya.”

Di sebelahnya, Zidan murid Muslim berkewarganegaraan Indonesia yang awalnya merasa ragu dan sedikit minder untuk bergabung dalam aktivitas ini, kini tertawa riang tanpa henti saat mencoba menguleni adonan dan tidak sengaja membuat tepung terbang menyebar ke pipi dan wajahnya, membuatnya seperti sedang mengenakan masker tepung putih yang lucu.

Saya bergerak perlahan dari satu kelompok ke kelompok lain, membantu mereka yang membutuhkan bantuan tambahan, menyesuaikan takaran bahan sesuai dengan jumlah adonan yang dibuat, dan terkadang hanya duduk sebentar di sudut untuk menikmati momen indah ini. Ketika kita mulai menambahkan bubuk kayu manis, pala yang sudah dihaluskan, dan sedikit kapulaga ke dalam adonan, aroma khas Natal yang sudah sangat akrab di telinga kita semua perlahan-lahan mengisi setiap sudut ruangan hingga terasa hangat dan penuh makna.

Beberapa murid mulai bernyanyi lagu Natal yang mereka kenal seperti “Jingle Bells” dan “We Wish You a Merry Christmas”, dan perlahan-lahan semua orang ikut menyanyi bersama, suara kecil yang awalnya hanya terdengar dari satu sudut perlahan berkembang menjadi paduan suara yang hangat dan merdu.

Cetakan yang Menyimpan Cerita Berbeda dari Berbagai Negara :

Setelah adonan sudah siap dan merata, saatnya untuk membentuk kue dengan berbagai jenis cetakan yang kita kumpulkan dari rumah masing-masing dan beberapa yang disumbangkan oleh orang tua siswa.

Ada cetakan pohon Natal kayu yang berasal dari keluarga Sarah, yang sudah digunakan selama tiga generasi berturut-turut. “Cetakan ini selalu digunakan oleh nenek saya setiap tahun untuk membuat kue Natal yang akan dibagikan kepada tetangga dan keluarga di kampung kita,” katanya dengan wajah penuh bangga sambil menunjukkan pola yang sudah agak memudar di bagian bawah cetakan akibat penggunaan yang lama namun penuh cinta.

Di sampingnya, ada cetakan berbentuk bintang yang dibawa oleh Amir, murid Muslim berkewarganegaraan Malaysia yang menemukan cetakan itu di toko alat masak saat berbelanja bersama ibunya dan langsung memintanya untuk dibeli agar bisa dibawa ke sekolah untuk acara ini. “Saya ingin membawa pulang kue berbentuk bintang untuk keluarga saya di rumah,” katanya dengan mata yang bersinar kilap penuh semangat, “ibu saya pasti akan suka melihatnya karena warnanya yang cantik dan pasti rasanya lezat.”

Saya membantu mereka satu per satu untuk menuangkan adonan ke dalam cetakan dengan hati-hati dan teliti, memastikan setiap bagian kecil cetakan terisi dengan baik sehingga bentuknya akan keluar sempurna nantinya. Saat mengolesi permukaan kue dengan telur yang sudah dikocok lepas untuk memberikan kilauan keemasan yang cantik, saya melihat dengan mata penuh rasa kagum bagaimana murid-murid bekerja sama dengan sangat baik

Yang satu dengan senang hati membantu membuka tutup oven yang agak berat, yang lain dengan hati-hati menyusun loyang di atas rak oven agar tidak tumpah, dan yang lainnya sudah dengan cermat menyiapkan alas kertas roti agar kue tidak lengket pada loyang.

"Di saat itu, tidak ada satupun batasan yang terasa ada di antara kita, tidak ada yang bertanya siapa yang merayakan Natal, siapa yang beragama Kristen, Muslim, Buddha, atau Konghucu, atau dari negara mana mereka berasal. Yang ada hanya senyum hangat, tawa riang, dan keinginan yang sama untuk membuat sesuatu yang indah dan berharga bersama-sama."

Ketika loyang pertama yang berisi adonan kue sudah siap dan dimasukkan ke dalam oven, kita semua secara spontan berkumpul di depan pintu oven dengan wajah yang penuh harapan dan antisipasi. Suara oven yang bekerja dengan suara lembut dan aroma kue yang mulai meresap keluar dari celah pintu oven membuat kita semua secara bersamaan menutup hidung dan menarik napas dalam-dalam untuk menikmati aromanya.

“Wah, harum sekali ya Bu! Rasanya pasti enak banget!” teriak Fuko, murid berkewarganegaraan Jepang yang biasanya lebih suka bermain bola atau olahraga di lapangan ketimbang berada di dapur dan memasak.

Saya melihat bagaimana tangannya yang besar dan kuat namun dengan hati-hati menyangga loyang dan menutupinya dengan kain kecil agar panas merata meresap ke seluruh bagian kue, dan saya tersenyum sendiri melihat betapa hati-hati dia menangani sesuatu yang baru dia pelajari pada hari ini.

Saat Kue Matang dan Hati Jadi Lebih Dekat :

Setelah sekitar tiga puluh menit menunggu dengan penuh kesabaran, lonceng kecil yang kami pasang pada oven untuk memberi tanda berbunyi dengan suara lembut namun jelas terdengar di seluruh ruangan. Saya dengan hati-hati membuka pintu oven perlahan-lahan, dan hembusan panas yang keluar sekaligus membawa aroma yang semakin menggoda dan menggugah selera, perpaduan kayu manis yang harum, vanilla, dan mentega yang sudah matang dengan pas.

Kue-kue kecil dengan berbagai bentuk pohon Natal, bintang, dan malaikat muncul dengan warna keemasan yang cantik dan menarik, permukaannya mengembang dengan sangat sempurna tanpa cacat sedikitpun. Murid-murid langsung bertepuk tangan dengan riang gembira, beberapa di antaranya bahkan melompat-lompat dengan kegembiraan yang tak terbendung.

Kami bersama-sama menunggu kue sedikit dingin agar tidak mudah hancur sebelum memindahkannya satu per satu ke rak pendinginan yang sudah kami siapkan dengan rapi. Selama menunggu, saya mengajak mereka untuk duduk berkelompok di lantai yang sudah ditutupi dengan alas kain tebal agar tidak dingin.

“Bagaimana kalau kita cerita tentang hari raya atau tradisi khusus yang biasa kalian rayakan bersama keluarga di negara asal masing-masing ya?” ajak saya sambil duduk bersila bersama mereka di lantai. Sarah dengan senang hati memulai cerita pertama, menceritakan tentang tradisi keluarga yang sudah berlangsung lama untuk selalu berkumpul di rumah neneknya setiap malam Natal, makan kue Natal yang sama seperti yang kita buat sekarang sambil menikmati api unggun di halaman rumah dan saling bertukar hadiah kecil yang penuh makna.

Kemudian, Zidan mengikuti dengan cerita tentang hari raya Idul Fitri di rumahnya di Indonesia, bagaimana seluruh keluarga besar berkumpul dari berbagai daerah untuk saling bersilaturahmi, memaafkan satu sama lain, dan menyantap berbagai hidangan khas Idul Fitri seperti ketupat, opor ayam, dan rendang yang dibuat oleh neneknya.

Satu per satu, murid-murid dengan antusias berbagi cerita tentang hari raya atau tradisi khusus mereka, ada yang merayakan Tahun Baru Imlek dengan keluarga besar dengan makan makanan khas seperti dumpling dan nasi merah, ada yang merayakan hari raya Buddha dengan melakukan doa bersama di vihara dan membagikan makanan kepada orang yang membutuhkan, ada juga yang menceritakan tentang hari libur nasional di negara asal mereka yang selalu diisi dengan kebersamaan keluarga dan perjalanan wisata bersama.

Saya sendiri juga berbagi cerita tentang bagaimana saya dan keluarga selalu membuat kue bolu panggang dan nastar pada hari raya Idul Fitri untuk dibagikan kepada tetangga dari berbagai agama dan latar belakang berbeda, karena bagi kami, berbagi makanan adalah salah satu cara terbaik untuk menyampaikan cinta, kedamaian, dan rasa hormat kepada sesama.

Saat Kue Jadi Pesan yang Tak Pernah Pudar :

Setelah kue benar-benar dingin dan siap untuk dihias, kami mulai menyiapkan perlengkapan dekorasi yang sudah disiapkan, gula halus yang diberi pewarna makanan alami dengan warna merah, hijau, dan putih yang menjadi warna khas Natal yang kita kenal. Murid-murid dengan sangat hati-hati menyemprotkan warna pada permukaan kue atau menggunakan kantong piping untuk membuat pola yang unik dan penuh kreativitas sesuai dengan imajinasi mereka masing-masing.

Beberapa membuat pola salju yang cantik, yang lain dengan cermat menggambar wajah senyum pada bentuk malaikat, dan ada juga yang hanya dengan senang hati menaburkan gula halus putih seperti salju yang menutupi permukaan pohon Natal.

Setelah semua kue selesai dihias dengan hasil yang memukau dan penuh kreativitas, kami mulai membungkusnya satu per satu dengan kertas kado berwarna cerah dan menarik serta tali renda yang berwarna-warni yang sudah kita siapkan. Setiap murid membuat dua bungkusan kue yang rapi, satu untuk mereka bawa pulang dan dinikmati bersama keluarga di rumah, dan satu lagi khusus untuk diberikan kepada teman sekelas yang memiliki agama atau negara asal berbeda dengan mereka.

Kehangatan yang Tetap Ada Meski Kue Sudah Habis :

Saat jam sekolah hampir habis dan murid-murid mulai bergegas bersiap pulang dengan membawa bungkusan kue yang mereka buat sendiri dengan bangga, Sarah datang menghampiri saya dengan langkah kecil yang cepat dan memberikan sesuatu yang dia pegang erat di tangan kanannya.

Itu adalah sebuah kartu kecil yang dia buat sendiri dengan tangan ada gambar kue Natal yang digambar dengan warna pensil berwarna di bagian depan dan tulisan yang rapi di bagian dalam ; “Terima kasih banyak Bu Nana, karena Anda telah mengajari kita bahwa perbedaan bukanlah halangan untuk bahagia bersama dan saling mencintai satu sama lain.” Saya dengan sangat hati-hati menyimpan kartu kecil berharga itu di dalam tas saya, bahwa ini adalah hadiah terbaik yang pernah saya terima sepanjang karir saya sebagai seorang guru.

Saat saya mulai membersihkan ruang kelas dan membersihkan sisa-sisa tepung, gula, dan bahan lainnya dari meja dan lantai, aroma kue Natal yang harum masih tetap terasa di udara ruangan. Saya melihat beberapa potong kue yang tidak terbungkus dan masih tersisa di atas meja, lalu mengambil satu lagi untuk dicicipi perlahan. Rasanya masih sama seperti sebelumnya manis dan hangat seperti kehangatan yang kita rasakan bersama-sama pada hari ini, yang tidak akan pernah hilang dari ingatan kita.

Jakarta, 18 Desember 2025

Cerita dari Ruang Kelas Kami, Selamat mempersiapkan natal.

Baca Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News

Berita Terbaru

Setara Berkarya, Berdaya Pemkot Depok Beri Bantuan untuk Penyandang Disabilitas
Presiden Periksa Kesiapan Huntara dan Penanganan Darurat Bencana di Agam Sumatra Barat
Peningkatan Kompetensi SDM Jadi Prioritas untuk Mendukung Industri Perikanan Nasional
From Nana's Heart to Their Homes "Kue Natal Tanpa Batas Agama dan Negara"
Breakfast Time with Scrambled Eggs Resep Praktis dan Tips Hasil yang Creamy
Meningkatkan Kualitas Tidur Melalui Kebiasaan Bangun Pagi
Lembaga Pembiayaan Internal BYD Masuki Tahap Finalisasi Target Bantu Penjualan Kendaraan Listrik
UPT Karawang Wujudkan PLN untuk Rakyat Melalui Aksi Sehat di Purwakarta
Wamenag Resmikan Platform Film Islami Dorong Dakwah Melalui Medium Layar
Asesmen Baca Al-Qur’an Jadi Dasar Perbaikan Literasi Keagamaan Menag Siapkan Langkah Solutif
Toyota Agya Jual Naik 9 Persen LCGC Tetap Jadi Pilihan First Buyer
Kemdiktisaintek Luncurkan Metrik Inklusi Kampus bagi Disabilitas
Wamendikdasmen Fajar Tekankan Pentingnya Data sebagai Dasar Penentuan Kebijakan Pendidikan
Reformasi Pelayanan Publik dan Teknologi Menghasilkan Layanan yang Cepat, Pasti, Aksesibel, dan Inklusif
Pemkot Tangerang Berhasil Merealisasikan Pembangunan 23 Graha Kita Bersama
Just Eat Kota Tangerang Warkop Modern dengan Konsep Kekinian
Kuatkan Peran Ayah dalam Pendidikan Karakter Wali Kota Depok Keluarkan SE
Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Depok Mencanangkan Zona Integritas Menuju WBK dan WBBM
UPT Karawang Wujudkan Program PLN untuk Rakyat Lewat Aksi Sehat di Purwakarta
Tiga Program TJSL PLN Diluncurkan di Kampung Adat Kuta Ciamis