NARASINETWORK.COM - Tokoh lintas agama di Indonesia menegaskan bahwa jalan paling kokoh untuk menjaga masa depan bangsa adalah merawat kerukunan dalam keberagaman. Pesan ini mengemuka dalam Dialog Kerukunan Lintas Umat Beragama yang digelar Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) di Aula HM Rasjidi, Jakarta, Sabtu kemarin (6/12/2025).
Dialog dihadiri lebih dari 350 peserta dari berbagai agama dan kalangan, menjadi wadah strategis untuk menyuarakan pentingnya kerukunan sebagai fondasi bangsa yang damai dan sejahtera.
Menteri Agama 2014–2019, Lukman Hakim Saifuddin, membuka dialog dengan menyatakan bahwa perbedaan merupakan bagian hakiki dari kehendak Tuhan. Namun, konflik muncul karena ada yang ingin menyeragamkan perbedaan.
“Persoalan muncul ketika perbedaan dipersepsikan sebagai ancaman. Padahal, keragaman adalah anugerah yang memperkaya kehidupan kita,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa kerukunan hanya dapat terjaga jika setiap pemeluk agama memandang perbedaan secara positif.
Ketua Komisi KWI, Mgr. Christophorus Tri Harsono, mengajak peserta melihat keberagaman sebagai kehendak Tuhan yang membuat manusia saling membutuhkan. Ia menekankan pentingnya dialog teologis, humanis, dan ekologis sebagai satu kesatuan. “Kita hanya bisa menuju kebaikan jika berjalan bersama. Semakin seseorang beragama, seharusnya semakin memahami cara pandang sosialnya,” katanya. Menurutnya, kerukunan tidak akan tercapai tanpa keadilan sosial dan kepedulian pada lingkungan hidup sebagai ciptaan Tuhan.
Dari perspektif Khonghucu, Pengurus Pusat MATAKIN, Budi Santoso Tanuwibowo, mengangkat kisah Meng Ce (Mencius) yang mengingatkan bahaya sikap pemimpin yang hanya mengejar keuntungan – yang terlihat pada kerusakan lingkungan yang memicu bencana. “Kerusakan hari ini adalah reaksi dari tindakan kita. Agama harus bicara tentang manusia dan alam. Kita perlu menjaga keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia, dan semesta,” tegasnya.
Ketua Umum PGI, Jackle Vyn Firts Manuputty, menyoroti tragedi banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai momentum yang menyatukan masyarakat tanpa melihat agama. “Di tengah bencana, kita bertemu dalam kepedulian. Titik temu kita adalah kemanusiaan dan lingkungan yang rusak,” ucapnya.
Dialog ditutup dengan kesadaran bersama bahwa merawat kerukunan bukan hanya upaya menjaga hubungan antarumat, tetapi juga memastikan keberlanjutan kehidupan melalui keadilan sosial dan kepedulian ekoteologi.
