NARASINETWORK.COM - KAB. BANDUNG
Dalam rangka menyemarakkan Hari Pahlawan 10 November 2025, Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menggelar Seminar Serial Kepahlawanan di Aula Museum Pendidikan Nasional UPI, Jl. Dr. Setiabudhi, Bandung, Selasa (11/11/2025).
Seminar yang dihadiri para mahasiswa dan dosen tersebut mengangkat tema “Inggit Garnasih: Pahlawan Wanita Sunda yang Terlupakan.” Hadir sebagai pembicara, Prof. Dr. Dadan Wildan, M.Hum. dan Dr. Andi Suwirta, M.Hum., dengan moderator Muhammad Abror, M.Pd.
Wakil Dekan FPIPS UPI Dr. Fitri Rahmafitria, M.Si. dalam sambutannya mengemukakan bahwa Seminar Serial Kepahlawanan ini digelar untuk membedah kehidupan, perjuangan, dan jasa para tokoh nasional, baik yang sudah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional maupun yang belum.
“Kami ingin memberi pencerahan dan pemahaman kepada civitas akademika UPI dan masyarakat luas bahwa Hari Pahlawan tidak semata-mata ritual upacara, tetapi yang lebih penting adalah meneladani sekaligus memaknai perjuangan para pahlawan. Insyaallah, Seminar Serial Kepahlawanan ini akan kami gelar setiap tahun atau pada momentum bersejarah lainnya,” ungkap Dr. Fitri Rahmafitria, M.Si.
Topik mengenai Ibu Inggit Garnasih, menurut Prof. Dr. Dadan Wildan, M.Hum., diangkat karena banyak generasi muda (khususnya Generasi Z) yang belum mengenal pahlawan wanita Sunda asal Kabupaten Bandung tersebut. Padahal, Ibu Inggit Garnasih memiliki jasa besar dalam perjuangan kemerdekaan.
Inggit Garnasih, kelahiran Kamasan, Banjaran, Kabupaten Bandung, pada 17 Februari 1888 dan wafat pada 13 April 1984 dalam usia 96 tahun, memiliki peran penting bagi bangsa Indonesia. Inggit Garnasih, yang dinikahi Soekarno pada 24 Maret 1923, merupakan satu-satunya perempuan Sunda yang paling banyak memengaruhi pribadi Soekarno muda. Ia berperan besar dalam meneguhkan kekuatan dan semangat Soekarno untuk menentang kolonialisme Belanda, ungkap Ketua Yayasan Pendidikan Prima Cendekia Islami itu.
Lebih lanjut, Prof. Dadan menjelaskan bahwa Inggit Garnasih setia mendukung perjuangan Soekarno dalam menegakkan nasionalisme yang dikobarkannya, meski harus menyaksikan hari-hari sang suami berpindah dari satu penjara ke penjara lain. Inggit pun setia mendampingi Soekarno, mulai dari pengasingan di Ende, Flores, hingga ke Bengkulu.
Sementara itu, Dr. Andi Suwirta menuturkan bahwa Soekarno, sejak masih kuliah di THS (kini ITB), mendapat dukungan penuh dari Inggit Garnasih. Inggit hadir sebagai istri, sahabat, teman seperjuangan, sekaligus tempat berlabuh bagi Soekarno. Rumah tangga mereka selama hampir 20 tahun (1923–1943) telah melalui empat periode: sejak Soekarno menjadi mahasiswa ITB (1923–1926), memimpin pergerakan nasional (1926–1933), menjalani pengasingan di Flores dan Bengkulu (1934–1942), hingga akhirnya berpisah pada 1943 karena Inggit menolak dimadu.
Perceraian itu terjadi hanya dua tahun sebelum Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia pada 1945. “Tidak salah jika Ramadhan KH memberi judul novel sejarahnya Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno,” ujar Andi Suwirta.
Menurut Prof. Dadan, perjuangan Inggit Garnasih selama 20 tahun bersama Soekarno tentu bukan hal yang mudah. Pengorbanan Inggit dalam mendukung cita-cita kemerdekaan patut dihargai. Namun, pencalonan Inggit Garnasih sebagai Pahlawan Nasional hingga kini belum membuahkan hasil. Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengajukannya pada tahun 2008 dan 2012, bahkan atas dukungan Ibu Megawati Soekarnoputri, pengajuan kembali dilakukan pada tahun 2023, tetapi belum juga disetujui.
Saat ini, Inggit Garnasih telah dianugerahi Satyalancana Perintis Kemerdekaan dan Bintang Mahaputera Utama. Gagasan untuk terus memperjuangkan Inggit Garnasih sebagai Pahlawan Nasional perlu terus digaungkan. Hal itu menjadi kebanggaan bagi masyarakat Kabupaten dan Kota Bandung khususnya, serta masyarakat Jawa Barat pada umumnya,” tutup Prof. Dadan Wildan.
**
