Apabila Guru Tergantikan AI : Akankah Kemanusiaan Tetap Bertahan

Sabtu, 22 Mar 2025 22:00
    Bagikan  
Apabila Guru Tergantikan AI : Akankah Kemanusiaan Tetap Bertahan
Ilustrasi

Apabila Guru Tergantikan AI : Akankah Kemanusiaan Tetap Bertahan?

NARASINETWORK.COM - Madiun, Di abad yang dipenuhi algoritma ini, pertanyaan tentang peran guru dalam lanskap pendidikan yang dikepung oleh kecerdasan buatan (AI) semakin mengemuka. Akan tergantikan kah guru oleh sistem yang dirancang untuk "mengetahui" segalanya? Atau justru AI hanyalah fatamorgana kecerdasan yang tidak bisa mengisi kekosongan paling esensial dalam diri manusia yakni kesadaran dan karakter?

Dalam Being and Time, Heidegger mengingatkan bahwa manusia bukan sekadar "makhluk berpikir", tetapi "makhluk yang mengalami". Artinya, pembelajaran tidak hanya soal transfer informasi, tetapi juga transformasi makna. AI, dengan segala kecepatan pemrosesan datanya, mungkin mampu menghafal dan mengulang informasi lebih baik dari manusia, tetapi ia gagal memahami makna di balik pengalaman. Ia tidak bisa merasakan kehilangan, tidak memahami kebimbangan moral, dan tidak memiliki ketakutan eksistensial yang membentuk kedalaman karakter manusia.

Di sinilah letak batas tegas antara peran guru dan AI. Seorang guru sejati tidak hanya mentransmisikan pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai yang membentuk karakter siswa. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics mengajarkan bahwa karakter terbentuk dari kebiasaan, dan kebiasaan itu lahir dari tindakan yang berulang. Namun, tindakan itu sendiri tidak berdiri sendiri; ia berakar dari pikiran, yang pada gilirannya dibentuk oleh emosi dan pengalaman manusiawi yang kompleks.

Jika pendidikan hanya dipahami sebagai proses pengisian kepala dengan data, maka AI memang bisa menggantikan peran guru. Tapi jika pendidikan adalah pembentukan karakter, maka AI tidak akan pernah bisa mengambil alih peran seorang guru manusia. Karakter tidak terbentuk dari sekadar mengetahui, melainkan dari mengalami, merasakan, dan berinteraksi dengan sesama manusia. Robot bisa mengajarkan logika, tetapi tidak bisa mengajarkan empati.

Sejarah telah menunjukkan bahwa setiap loncatan teknologi selalu membawa ketakutan akan tergantikannya peran manusia. Ketika mesin cetak ditemukan oleh Gutenberg pada abad ke-15, para cendekiawan khawatir bahwa buku akan menggantikan guru. Namun yang terjadi justru sebaliknya: buku menjadi alat yang memperkuat pendidikan, bukan menggantikannya.

AI pun harus dilihat dalam perspektif yang sama. Ia hanyalah alat bantu yang mempercepat akses terhadap informasi, bukan entitas yang bisa menggantikan kehangatan interaksi manusiawi. Yuval Noah Harari dalam Homo Deus memperingatkan bahwa di masa depan, manusia mungkin akan kehilangan makna jika mereka menyerahkan terlalu banyak keputusan kepada algoritma. Maka, pertanyaannya bukanlah apakah AI akan menggantikan guru, melainkan apakah kita akan membiarkan AI mengambil alih peran yang seharusnya dijalankan oleh manusia?

Namun, ada ancaman lain yang lebih besar dari sekadar kecerdasan buatan: yakni erosi karakter manusia itu sendiri. Dunia pendidikan hari ini menghadapi tantangan yang jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan sekadar munculnya AI yaitu degradasi kesadaran.

Jika kita mengikuti logika Aristoteles tentang bagaimana karakter terbentuk, kita akan melihat bahwa segalanya berawal dari perasaan. Perasaan membentuk pikiran, pikiran membentuk ucapan, ucapan membentuk tindakan, tindakan membentuk kebiasaan, dan kebiasaan akhirnya membentuk karakter. Jika sistem pendidikan gagal membangun kesadaran emosional yang sehat sejak dini, maka generasi yang tumbuh tidak hanya akan kehilangan karakter, tetapi juga arah moral.

Di titik ini, AI bahkan bukan musuh yang paling berbahaya. Musuh terbesar adalah lingkungan yang membentuk generasi tanpa empati, tanpa kebijaksanaan, dan tanpa kedalaman makna. Jika sejak awal emosi seseorang telah rusak akibat lingkungan yang toksik, maka AI tidak perlu menggantikan manusia karena manusia itu sendiri sudah kehilangan maknanya sebagai manusia.

Di masa depan, mungkin saja ilmu pengetahuan berkembang hingga manusia mampu melakukan regenerasi sel secara tak terbatas, mencapai bentuk keabadian biologis yang pernah diimpikan para filsuf dan ilmuwan. Namun, seperti yang diingatkan Viktor Frankl dalam Man’s Search for Meaning, hidup bukan hanya soal bertahan, tetapi juga soal menemukan makna.

Jika keabadian dicapai tanpa kedalaman spiritual dan kesadaran emosional, maka manusia akan memasuki era yang lebih mengerikan dari sekadar ketidakberartian—yaitu era penderitaan tanpa akhir. Keabadian tanpa makna adalah hukuman, bukan hadiah.

Nietzsche pernah berkata bahwa manusia modern terancam oleh nihilisme, sebuah kondisi di mana semua makna menjadi hampa. Jika kecerdasan buatan berkembang tanpa keseimbangan dengan kecerdasan emosional dan spiritual, maka manusia akan menghadapi tragedi eksistensial yang lebih besar dibandingkan sekadar kehilangan pekerjaan. Kita akan kehilangan jiwa kita sendiri.

Sehingga, pertanyaan yang seharusnya kita ajukan bukanlah apakah AI akan menggantikan guru, melainkan apakah kita masih memiliki guru yang mampu membentuk karakter di tengah krisis makna ini. 

Jika kecerdasan buatan hanya sekadar alat, dan jika pendidikan sejati adalah pembentukan karakter, maka pertanyaan yang lebih mendasar adalah: pendidikan seperti apa yang sedang kita bangun? Apakah kita masih memiliki guru-guru yang berperan sebagai penjaga kesadaran, ataukah mereka telah terjebak dalam sistem yang hanya mengejar efisiensi dan angka?

Di zaman yang menjadikan teknologi sebagai pusat dari segala sesuatu, mungkin kita perlu bertanya ulang: apakah kita masih mendidik manusia untuk menjadi lebih manusiawi, ataukah kita justru sedang melatih mereka agar berpikir seperti mesin? Jika AI adalah masa depan, maka seharusnya kita bertanya, bukan apakah AI akan menggantikan kita, tetapi apakah kita masih memiliki sesuatu yang tidak bisa digantikan?

Kita tahu bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kapasitas untuk memberi makna. AI bisa memproses data, tetapi ia tidak bisa merenungkan arti dari penderitaan, tidak bisa memahami keindahan yang menggetarkan hati, dan tidak bisa menemukan makna dalam kesedihan maupun kebahagiaan. Jika pendidikan gagal membentuk kesadaran ini, maka permasalahannya bukanlah AI yang menggantikan guru, tetapi manusia yang kehilangan esensinya sendiri.

Maka, tantangan terbesar bagi kita bukanlah memastikan bahwa AI tetap menjadi alat, tetapi memastikan bahwa manusia tetap menjadi manusia. Sebab, jika di masa depan kita telah kehilangan karakter, kehilangan empati, kehilangan makna, maka kita tidak perlu AI untuk menggantikan guru karena kita telah kehilangan sosok guru.

Pada akhirnya, pendidikan bukanlah soal siapa yang mengajar, melainkan bagaimana kita mengajarkan generasi mendatang untuk memahami hakikat keberadaannya. Seperti yang dikatakan Rainer Maria Rilke, "The only journey is the one within."—perjalanan paling penting bukanlah menaklukkan dunia luar, tetapi memahami diri sendiri. Jika AI adalah alat yang kita ciptakan, maka pertanyaan terakhir yang harus kita ajukan adalah: apakah kita masih memiliki kesadaran untuk tetap menjadi pencipta, atau kita justru sedang menyerahkan diri kita kepada ciptaan kita sendiri.

Source : Fileski Walidha Tanjung adalah penulis esai, puisi, dan prosa yang karyanya telah banyak dimuat berbagai media nasional dan internasional. 

Baca Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News

Berita Terbaru

Kyeong Ham Mempesona Pretoria dalam Konser KCC Music on Stage
Kyeong Ham dan Gauteng Philharmonic Orchestra "Puncak Musikal di Johannesburg"
Peran Strategis Literasi dalam Pembangunan Kota Padang "Apresiasi Walikota terhadap Inisiatif SatuPena Sumbar"
"THAT'S KOREA in Brussels": Merayakan Warisan dan Inovasi Kerajinan Korea
Malam Film Korea : Perpaduan Sempurna antara Sinema dan Kuliner di Australia
HSN 2025 : Momentum Kebangkitan dan Penguatan Peran Pesantren dalam Mengawal Indonesia Menuju Peradaban Dunia
Museum Pendidikan Nasional UPI Akan Jalin Kerjasama Dengan Fakultas Luar Negeri
Cegah Keracunan, 7.000 Tenaga SPPG Ikuti Pelatihan Keamanan Pangan dan Sanitasi
Bansos 900 Ribu, Begini Cara Cek Apakah NIK KTP Terdaftar atau Tidak
Program Makan Bergizi Gratis di Lumajang Fokus Terhadap Peningkatan Gizi untuk Generasi Emas

Oatmeal Cookies "Sang Penunda Lapar"

Kuliner Selasa, 21-Oct-2025 14:36
Oatmeal Cookies "Sang Penunda Lapar"
Gebyar Pajak Daerah 2025, Bapenda Kab. Bandung Gandeng IMI untuk Edukasi Pajak Lewat GEBER di Jalak Harupat
Wawancara Tokoh : Hanna Shakila Inara "Pelita Literasi di Tengah Generasi Digital"
"Transformasi Bathtub : Menciptakan Ruang Relaksasi Pribadi"
Menciptakan Ruang Hijau Dalam Ruangan Apartemen Studio
Membaca Gerdi WK : Mengupas "Kaum Depok" dalam Sastra Grafis di Baca Di Tebet
Hadir di Desa Ploso Jombang, Pemerintah Dorong Kesadaran Gizi dan Kemandirian Warga Lokal
Ecopark Tebet Jadi Destinasi Seni Wajib Kunjungi Jakarta ARTMOSPHERE 2025
Menstruasi Bukan Tabu : Edukasi Sejak Dini untuk Generasi Sehat dan Berdaya
Akui Banyak Reklame Ilegal Tak Berizin, Kang DS: Evaluasi Bidang Pendapatan