NARASINETWORK.COM - BANDUNG
-Bencana yang telah menerjang di berbagai Provinsi merupakan bencana ekologis, kejadian yang paling mengecam minggu lalu salah satunya bencana ekologis yang terjadi di Provinsi Sumatra Utara.
"Perlu kami tegaskan banjir bandang, longsor, tanah amblas serta fenomena bencana alam lainnya bukan semata-mata pemicunya intensitas hujan yang tinggi, atau biasa sering dikatakan sebagai bencana hidrometreologi. Kami sampaikan begitu karena pada faktanya terdapat faktor yang kuat yang dapat memicu rentan serta tingginya penomena bencana terjadi, salah satunya adalah telah terjadi deforestasi di kawasan hutan, baik oleh pembukaan lahan untuk area penambangan, pembabatan pohon untuk kepentingan sekelompok orang, program-program yang tidak tepat sasaran hingga sampai kegiatan pengembangan properti dan pengembangan wisata turut serta sebagai salah satu pemicu yang paling kuat," kata Direktur WALHI Jabar, Wahyudin Senin (1/12/2025).
Ia menyebut bencana ekologis tersebut sangat mungkin bisa terjadi serupa di Jawa Barat bahkan alam bisa lebih dari itu untuk mengingatkan semua, dan tidak bisa mengelak jika alam sudah mengingatkan atas keserakahan manusia.
"Sebagai pengingat untuk semua, Jawa Barat adalah Provinsi yang yang memiliki kerentanan bencana yang tinggi, Tsunami, Gunung merapi, Banjir bandang, Longsor, Tanah Amblas, Puting beliung dan sebagainya dapat mengancam kita semua," ucapnya.
Selain pada posisi tersebut, faktor pemicu lain yang dapat dilihat tidak bisa terhindarkannya kerusakan lingkungan yang semakin hari semakin rusak. Upaya pencegahan, pemulihan serta perbaikan lingkungan masih dapat dikatakan nyaris tidak dilakukan oleh pemerintah, bahkan pemerintah terkesan turut andil melegitimasi kerusakan lingkungan yang terus menerus.
Misal, per tahun 2023 terdapat 54 Izin usaha perusahaan tambang statusnya sudah habis. Ironisnya pemerintah tidak pernah mengurus apalagi menertibkan perusahan-perusahaan yang izinnya telah habis namun masih beroperasi.
"Pada tahun 2024 Walhi mencatat juga terdapat 176 titik kegiatan tambang yang ilegal. salah satu wilayah yang mamasuki katagori tertinggi yaitu Kabupaten Sumedang sebanyak 48 titik, disusul oleh Kabupaten Tasikmalaya sebanyak 48 titik, Kabupaten Bandung 37 titik, Bogor 23 titik, Cianjur 20 titik, Purwakarta 12 titik dan Cirebon 7 titik," terangnya.
Lebih jauh, Iwang sapaan akrabnya tersebut, menambahkan bahwa sepanjang kurun dua tahun, terhitung sejak tahun 2023-2025 Walhi mencatat penyusutan tutupan hutan semakin tinggi angkanya dapat mencapai 43% dari total kawasan hutan yang ada di Jawa Barat. Salah satunya terdapat di bawah pengelolaan Perum Perhutani, kawasan lindung, kawasan hutan produksi tetap dan terbatas yang telah berubah menjadi area-area tambang, wisata, properti, KHDPK hingga kegiatan yang di rencanakan pemerintah pusat seperti ekspansi Geothermal.
Kawasan kedua yang menyusul adalah kawasan yang di kelola oleh BBKSDA, dimana kawasan ini telah menimbulkan banyak penurunan status kawasan untuk kegiatan proyek strategis nasional yang kedua untuk kepentingan Taman Wisata Alam (TWA), kawasan konservasi telah terus menyusut bahkan terdapat kegiatan bangunan di area konservasi dan itu ironis sekali di biarkan begitu saja oleh BBKSDA.
Yang ketiga adalah kawasan dibawah pengelolaan Perkebunan (PTPN Regional II), dalih agar tidak ingin rugi perkebunan sangat gemar untuk membuat Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang akhirnya kerap di jadikan kegiatan properti, wisata dan pertanian yang telah mneghilangkan fungsi utamanya, sehingga kawasan telah terdegradasi oleh PKS-PKS tersebut.
"Ketidakmampuan PTPN dalam mengelola lahan harusnya Hak Guna Usaha itu tinjau kembali. Bahkan yang paling miris saat ini telah banyak HGU PTPN yang telah habis akhirnya di jadikan sebagai area kondominium hingga wisata yang berkedok ramah lingkungan, bisa dilihat faktanya pembukaan lahan yang masif dan metode betonisasi yang telah menghilangkan daya serap air," cetusnya.
Di luar pengelolaan tersebut Walhi juga menyoroti telah terjadi alih fungsi lahan yang masif di kawasan imbuhan (Kawasan yang memiliki daya serap air yang baik), area persawahan terus menyusut bahkan nyaris tidak lama lagi akan tidak terlihat seiring maraknya izin-izin pembangunan peruhaman, izin pembangunan industri serta izin wisata. Angkanya bisa sampai mencapai 20 Ha Pertahun seiring laju keluarnya izin mendirikan bangunan (IMB) terus di keluarkan oleh pemerintah
"Itu sebabnya Walhi menyatakan bahwa bencana yang kerap terjadi di seluruh pelosok melainkan bencana ekologis. Berbagai faktor di atas yang dapat memicu tingginya bencana sering terjadi, Walhi menyatakan bahwa di duga pemerintah sendiri yang ikut andil melegitimasi kerusakan lingkungan, hal tersebut dapat dilihat dari masih banyaknya Izin-izin yang keluarkan di kawasan yang memiliki fungsi penting, selain itu tidak ada upaya perbaikan dan pemulihan hingga saat ini lahan kritis saja yang mencapai 900 ribu hektar masih tidak di reboisasi atau di reporestasi dengan serius oleh pemerintah," jelasnya.
Dalam aspek lain, lanjut Iwang, mitigasi bencana dan lemahnya penegakan hukum turut serta mencerminkan ketidak seriusan pemerintah untuk menjalankan fungsinya, ada bencana hingga viral baru berbondong-bongdong investigasi dan pada pasang muka yang seolah-olah seperti pahlawan di siang bolong.
"Tidak ada data yang pasti yang mestinya dalam upaya mitigasi setidaknya ada data yang memiliki perlakuan khusus untuk di jaga, dilestarikan bahkan di pulihkan," tuturnya.
Hal tersebut mendorong sikap Walhi, agar dapat meminalisir resiko bencana yang besar, maka pemerintah penting dan harus menjalankan rencana migitigasi dengan serius, upaya mitigasi ini bisa di mulai dengan langkan pengetatan kegiatan-kegiatan yang berada di kawasan hutan, area yang memiliki fungsi penting (Resapan air).
Melakukan identifikasi di kabupaten dan kota yang memiliki kerentanan bencana yang tinggi sehingga data itu bisa menjadi acuan membuat kontijensi dan segera menjalankan penegakan hukum yang pasti dan konkrit bagi pelaku yang tidak taat maupun pelaku yang melakukan kerusakan lingkungan secara langsung, tidak pandang bulu, berikan sangsi tegas baik bagi pemberi ijin (kalangan pemerintah) maupun pengusaha.
**
