NARASINETWORK.COM - KAB. BANDUNG
-Pemuda diposisikan sebagai generasi penerus sekaligus agen pembangunan yang membutuhkan payung hukum yang responsif, inklusif, dan berorientasi pada pemberdayaan berkelanjutan.
Salah satu sorotan utama dalam kegiatan DPD KNPI Kabupaten Bandung di bidang riset yang baru dilaksanakan belum lama ini, adalah minimnya implementasi perda yang mengatur proporsi tenaga kerja daerah, khususnya bagi pemuda, menjadi alarm penting bagi para wakil rakyat agar lebih aktif menjalankan fungsi pengawasan dan legislasi.
Selain itu, isu literasi politik pemuda juga menjadi perhatian serius.Para wakil rakyat didorong untuk tidak hanya membuka ruang partisipasi formal, tetapi juga menghadirkan program konkret yang mampu meningkatkan pemahaman pemuda mengenai hak, kewajiban, serta peran strategis mereka dalam pemerintahan daerah.
Mekanisme penyerapan aspirasi yang berkelanjutan, transparan, dan berdampak nyata pun menjadi tuntutan yang semakin menguat.
Langkah ini dipandang sebagai fondasi penting dalam menyongsong bonus demografi 2030. Tanpa kebijakan yang adaptif dan berpihak pada pengembangan kapasitas pemuda, bonus demografi justru berpotensi berubah menjadi beban demografi.
Oleh karena itu, perubahan Perda Kepemudaan bukan sekadar agenda legislasi, melainkan investasi jangka panjang bagi masa depan Kabupaten Bandung.
Para anggota DPRD Kabupaten Bandung delapan fraksi, yang terdiri dari partai Gerindra, Golkar, PKS, PKB, Nasdem, Demokrat, PDIP, PAN menyampaikan pandangan yang sejalan, bahwa keterlibatan pemuda menjadi faktor penentu arah pembangunan wilayah dan daerah ke depan.
Salah satunya disampaikan oleh Anggota DPRD Kabupaten Bandung dari Fraksi Gerindra, Aep Dedi. Ia menyebutkan bahwa pemuda harus mampu menentukan ingin berperan di posisi yang mana.
“Kuncinya ada pada SDM, karena bonus demografi tidak akan berarti apa-apa jika tidak ditopang oleh dua hal utama, yakni potensi dan kemauan yang kuat,” ujarnya.
Fraksi Gerindra, kata dia, akan konsisten pada fokus tersebut. Dari sanalah kemudian lahir program MBG. Program MBG tidak sekadar dimaknai sebagai kegiatan bagi-bagi makanan. Jika dilihat secara lebih luas, program ini memiliki multiplier effect yang sangat besar.
"Apabila MBG benar-benar berjalan di Kabupaten Bandung, terdapat sekitar 275 titik yang siap, dengan 161 titik yang sudah berjalan, dan target ke depan mencapai 250 titik aktif," katanya.
Jika program ini terealisasi, kebutuhan tenaga kerja diperkirakan bisa mencapai sekitar 20.000 orang, dengan perputaran uang di Kabupaten Bandung yang diproyeksikan mencapai Rp5 triliun.
Karena itu, menurutnya, tidak cukup hanya berpikir untuk memiliki dapur, sebab dapur membutuhkan modal yang besar.
"Yang jauh lebih penting adalah memikirkan rantai distribusi, mulai dari siapa saja yang terlibat, seberapa panjang rantai pasoknya, hingga posisi apa yang ingin diambil oleh pemuda," ucapnya.
Kebutuhan bahan pangan seperti telur dan komoditas lainnya membuka peluang besar bagi pelaku UMKM. Di sinilah posisi pemuda harus diperjelas. Jika program ini hanya dijalankan seperti bantuan sosial yang sekadar dibagikan, maka tidak akan menghasilkan dampak yang berarti.
Ia juga menegaskan bahwa pengurangan TKD Kabupaten Bandung yang hampir mencapai Rp1 triliun seharusnya tidak menjadi penghalang, karena MBG merupakan program pemerintah pusat yang masuk ke daerah.
“Pertanyaannya, kita ingin berada di posisi mana dalam rantai pasok tersebut. Apakah pemuda ingin menjadi peternak? Saat ini saja, dengan 161 titik yang sudah berjalan, sudah terasa adanya kelangkaan. Bagi pemuda yang memiliki kemampuan berdagang, mari berdagang dan berbisnis,” jelasnya.
Ia melihat pemuda dari berbagai daerah sudah mulai bergeliat. Bahkan pada pemilu terakhir, pemuda tidak hanya berani mencalonkan diri, tetapi juga mampu memenangkan kontestasi.
Sementara itu, Anggota DPRD Kabupaten Bandung dari Fraksi Golkar, Riki Ganesa, menyampaikan bahwa pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan.
Menurutnya, ketika pemuda bergabung dalam KNPI, itu sudah merupakan langkah yang tepat. Ia meyakini bahwa dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, para pemuda tersebutlah yang akan menggantikan peran para legislator saat ini.
Oleh karena itu, keyakinan dan kesiapan harus dibangun sejak sekarang.
"Kabupaten Bandung sebenarnya telah memiliki payung hukum yang jelas melalui Perda Nomor 30 Tahun 2012, yang kemudian diturunkan dalam Peraturan Bupati Nomor 148 Tahun 2021," terangnya.
Di dalam regulasi tersebut terdapat empat poin krusial mengenai peran pemuda. Pada Pasal 17, misalnya, diatur mengenai wadah kepemudaan, fasilitas bagi pemuda, hingga bentuk penghargaan. Hal-hal tersebut, menurutnya, perlu digali lebih dalam oleh kalangan pemuda.
Jika perda tersebut dirasa sudah tidak lagi dinamis atau kurang memadai, maka ruang untuk melakukan revisi ke depan terbuka lebar demi memaksimalkan peran organisasi dan gerakan kepemudaan.
Berbicara mengenai peran aktif pemuda hingga menjadi legislator, Riki menyebut dirinya sebagai contoh nyata.
“Dari nol ke satu adalah tahap yang paling sulit. Namun untuk melangkah ke dua, tiga, dan empat, insyaallah bisa dilalui,” ujarnya.
Ia mengakui pernah mengalami kekalahan dalam proses politik. Menurutnya, dinamika demokrasi saat ini menuntut pemuda yang ingin menjadi legislator untuk memiliki basis yang kuat, baik dari sisi kompetensi maupun kapabilitas.
Namun demikian, ia menilai modal utama bagi pemuda cukup tiga hal, sementara urusan finansial akan mengikuti.
Ia mengungkapkan bahwa dirinya bisa berada di posisi saat ini karena menjaga silaturahmi, terutama dengan para senior dan pimpinan partai. Dari sanalah ia kemudian didorong di daerah pemilihan dan dibantu dalam perolehan suara.
Selain itu, Anggota DPRD Kab Bandung dari Fraksi PKB Acep Ana menyampaikan bahwa Pemuda harus aktif berdiskusi, membangun wacana, dan menciptakan momentum.
"Jika pemuda hanya berkumpul tetapi masing-masing sibuk dengan telepon genggam, maka hal itu tidak mencerminkan pemuda yang tangguh. Fokus utama diarahkan pada penguatan sumber daya manusia," katanya.
Pemuda harus mampu mengkritisi kebijakan dan mengidentifikasi persoalan di wilayahnya. Setelah itu, hasil diskusi tersebut dapat diajukan melalui audiensi kepada ketua dewan, OPD terkait, atau pihak berwenang lainnya.
“Jangan langsung berbicara soal dana, tetapi mulailah dari aksi nyata,” pungkasnya.
**
