NARASINETWORK.COM - Lalu kita hadirkan kembali mesin waktu untuk mengurai jejak lampau, dan duduk bersama merenungi pembelajaran yang sudah pernah ada di masa itu.
"Ia adalah bisikan masa lalu yang bergema di tengah realitas sekarang, mengingatkan kita akan jejak-jejak yang membentuk siapa kita."
Pameran tunggal Yuswantoro Adi, "Iconic," yang berlangsung di Galeri Nasional Indonesia pada 10-22 November 2017, bukan sekadar pameran seni rupa biasa. Lebih dari itu, pameran ini merupakan refleksi tajam dan multi-faceted atas realitas Indonesia, diungkapkan melalui lensa unik yang memadukan ikon-ikon populer, representasi anak-anak, dan kritik sosial yang mendalam. Melalui sekitar 20 karya utamanya dan karya-karya murid-muridnya, Yuswantoro Adi berhasil menciptakan dialog yang provokatif dan menggugah pemikiran penontonnya.
Konfigurasi Masa Depan - Yuswantoro Adi
Salah satu aspek paling menonjol dari pameran ini adalah penggunaan ikon-ikon populer yang direpresentasikan melalui sosok anak-anak. Tokoh-tokoh superhero, Bung Karno sebagai tokoh sejarah, hingga reproduksi karya seni terkenal seperti Perjamuan Kudus karya Leonardo Da Vinci, semuanya divisualisasikan ulang dengan pendekatan yang unik ini.
Lukisannya yang diberi tajuk "Masterpieces of Indonesia" karya dari Yuswantoro Adi, mengantarkannya pada Grand Prize Winner Philip Morris ASEAN Art Award 1997 di Manila
Kontras antara ikon-ikon yang sudah mapan dengan representasi anak-anak menciptakan efek yang menarik dan menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana generasi mendatang akan menafsirkan dan berinteraksi dengan ikon-ikon tersebut? Keberadaan ikon-ikon lain seperti Hitler, Jojon, dan Charlie Chaplin, yang digambarkan tanpa modifikasi, memperkaya lapisan makna, menyiratkan pilihan dan kompleksitas identitas yang dihadapi anak-anak dalam tumbuh dewasa. Pilihan Yuswantoro untuk tidak memodifikasi ikon-ikon ini seolah memberikan ruang bagi penonton untuk menafsirkan beragam makna dan konsekuensi dari setiap pilihan tersebut.
Yuswantoro Adi dan dedikasinya pada Dunia Anak
Namun, pameran "Iconic" bukanlah sekadar permainan visual yang estetis. Ia sarat dengan kritik sosial yang tajam dan relevan. Lukisan besar yang menampilkan anak-anak bermain di atas gedung, misalnya, menjadi metafora yang kuat tentang minimnya ruang publik dan lahan terbuka bagi anak-anak di perkotaan.
Gambaran ini secara implisit mengkritik urbanisasi yang merampas hak bermain anak dan mereduksi kualitas hidup mereka. Lebih jauh lagi, penggunaan lembaran uang rupiah dalam karyanya, sebelumnya dengan gambar wajah Soeharto dan kini dengan wajah Jokowi, merupakan komentar cerdas terhadap dinamika politik dan ekonomi Indonesia.
Lubang pada gambar wajah Soeharto pada karya sebelumnya menjadi simbolisasi kemungkinan siapa pun dapat menjadi pemimpin, sekaligus kritik atas kekuasaan otoriter. Penggunaan uang rupiah sebagai media seni bukan sekadar pilihan estetis, melainkan strategi untuk mendekonstruksi dan mengkritisi sistem yang berkuasa.
Unsur kebangsaan juga terwujud dalam pameran ini. Yuswantoro Adi menampilkan peta Indonesia, Candi Borobudur, dan lambang Pancasila dalam bentuk puzzle. Representasi ini menunjukkan upaya untuk menanyakan kembali dan mendefinisikan ulang ikon-ikon kebangsaan tersebut, mengajak penonton untuk merenungkan makna sebenarnya dari simbol-simbol nasional dalam konteks Indonesia kontemporer. Puzzle tersebut, sebagai metafora, mengarahkan pada pemikiran tentang kompleksitas dan fragmen yang menyusun identitas nasional.
Tidak dapat dipisahkan dari karyanya, latar belakang dan prestasi Yuswantoro Adi memperkaya pemahaman atas pameran "Iconic." Sebagai seorang pelukis yang aktif mengajar seni rupa kepada anak-anak, ia memiliki pemahaman mendalam tentang dunia anak dan impian serta tantangan yang mereka hadapi. Prestasi-prestasinya, termasuk grand prize Winner Phillip Morris ASEAN Art Award 1997 dan penghargaan-penghargaan lainnya, menunjukkan konsistensi dan kualitas artistiknya.
Pameran "Iconic" bukanlah sekadar pameran seni rupa; ia merupakan pernyataan artistik yang kuat dan bermakna. Melalui pendekatannya yang unik dan penggunaan ikon-ikon yang dipilih secara cermat, Yuswantoro Adi berhasil menyampaikan pesan-pesan yang kompleks tentang masa depan anak-anak, kondisi sosial kota, dan dinamika politik dan ekonomi Indonesia.
Pameran ini menunjukkan konsistensi dan kedalaman visi artistik Yuswantoro Adi dalam mengeksplorasi tema anak-anak dan kritik sosial melalui media seni rupa yang inovatif dan provokatif. Ia memaksa penonton untuk merenungkan kembali makna ikon-ikon yang sudah familiar, dan mengajak kita untuk mempertimbangkan realitas sosial yang kerap luput dari perhatian.
Yuswantoro Adi, lahir di Semarang pada 11 November 1966, adalah seniman Indonesia yang dikenal karena karya-karyanya yang fotorealis dan sarat kritik sosial. Perjalanan artistiknya dimulai pada tahun 1987 dengan partisipasi dalam Pameran Kelompok Sendata di Surabaya. Setelah menyelesaikan pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1997, Adi konsisten menghasilkan karya-karya yang tajam dan relevan dengan realita Indonesia.
Beberapa pameran tunggalnya yang terkenal antara lain: "Uang dan Bocah Kita" (1998), "Bermain dan Belajar" (2002), dan "Beranak Pinak" (2013). Trilogi "Beranak Pinak" ("Meteng Bareng," "Mangan Bareng," dan "Metengi Bareng") menjadi sorotan, menggambarkan kritik sosial terhadap kepadatan penduduk dan keterbatasan akses pangan di Indonesia, yang menurutnya mempersempit ruang sosial bagi masyarakat.
Prestasi Adi meliputi berbagai penghargaan, termasuk Grand Prize Winner Philip Morris ASEAN Art Award 1997, serta beberapa penghargaan dari ISI Yogyakarta (Karya Sketsa terbaik dan Karya Seni Lukis Cat Minyak terbaik pada 1987, dan Lima Besar Lomba Lukis YSRI-PMIAA pada 1997) dan Peringkat ketiga dalam Lomba Karikatur Pariwisata dari PEMDA DIY (1990). Karyanya yang konsisten dan tajam telah menjadikan Yuswantoro Adi sebagai salah satu seniman berpengaruh di Indonesia.