NARASINETWORK.COM - Menteri Agama Nasaruddin Umar secara resmi membuka Ijtimak Ulama Tafsir Al-Qur’an di Jakarta. Acara ini diharapkan dapat memacu pendekatan tafsir yang lebih induktif serta berwawasan keindonesiaan.
Ijtimak Ulama Tafsir Al-Qur’an merupakan program bersama antara Ditjen Bimas Islam, Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan SDM (BMBPSDM), serta Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Kementerian Agama.
Tahun 2025 ini, Ijtimak Ulama Tafsir mengangkat tema besar tentang toleransi dan cinta kemanusiaan. Menurut Menteri Agama, kedua nilai ini semakin relevan dalam menghadapi situasi sosial yang dipengaruhi oleh era post-truth.
Menteri Agama menekankan bahwa tantangan di era post-truth menuntut adanya pembaruan metodologi tafsir agar tetap relevan dengan kompleksitas zaman. "Dahulu, rujukan kebenaran sangat mudah, yaitu Al-Qur’an, Alkitab, atau pendapat ulama. Namun, saat ini kekuatan media dan politik dapat menutupi kebenaran yang hakiki," ujarnya.
Menteri Agama mengkritik kecenderungan metode deduktif dalam penafsiran, yang dianggapnya bergerak dari "langit ke bumi". Sebaliknya, ia mendorong penggunaan pendekatan induktif yang bergerak "dari bumi ke langit." Pendekatan ini menekankan pada upaya membaca realitas sosial sebelum dikonfirmasi pada teks suci.
"Al-Qur’an dimulai dengan Iqra’ bismi rabbik. Iqra’ itu induktif, bismi rabbik itu deduktif. Keduanya harus dipadukan," jelasnya.
Menteri Agama juga menekankan pentingnya kolaborasi antara rasio dan rasa dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Menurutnya, ada ayat yang dapat dijelaskan melalui konsentrasi intelektual, sementara yang lain hanya dapat dipahami melalui kontemplasi. "Kombinasi rasio dan rasa inilah yang akan menghasilkan tafsir yang membumi serta menyentuh dimensi batin manusia," tambahnya.
Menteri Agama menegaskan bahwa tafsir yang disusun oleh Kementerian Agama harus menjadi representasi tafsir negara dan Indonesia, yang mengintegrasikan antropologi, budaya, dan konteks keindonesiaan.
"Setiap bangsa memiliki culture right dalam memahami Al-Qur’an, dan hal ini diakui dalam tradisi tafsir. Oleh karena itu, kita perlu memasukkan perspektif budaya dan sosiologi dalam penyusunan tafsir," ujarnya.
Beliau berharap Ijtimak Ulama Tafsir dapat menghasilkan pandangan yang konstruktif dan mencerahkan, sehingga tafsir yang dihasilkan mencerminkan wajah Islam yang penuh kasih.
Forum ini diharapkan menjadi wadah strategis bagi ulama, akademisi, dan pemerhati tafsir untuk membahas penyempurnaan tiga juz tafsir Al-Qur’an yang telah diselesaikan oleh Kementerian Agama, serta melakukan uji publik terhadap tafsir tersebut.
