NARASINETWORK.COM -
-Alih fungsi lahan hampir selalu menimbulkan konflik karena prosesnya sering berjalan tidak transparan, tidak adil, dan mengabaikan kepentingan masyarakat yang paling terdampak.
Pertama, konflik muncul karena kekuatan modal bergerak jauh lebih cepat daripada perlindungan negara terhadap warga.
Developer dengan mudah membuka lahan, mengeruk bukit, atau menjual kavling tanpa izin lengkap, sementara masyarakat yang tinggal di sekitar hanya menjadi penonton yang harus menanggung risiko lingkungan dan sosial. Ketimpangan inilah yang langsung memicu kecurigaan dan perlawanan.
Kedua, alih fungsi lahan dilakukan tanpa keterlibatan warga, seolah hak masyarakat atas ruang hidupnya tidak penting.
Keputusan sering diambil secara tertutup antara pemilik tanah, oknum aparat, atau pihak developer. Ketika masyarakat baru mengetahui setelah alat berat masuk, jelas konflik tidak bisa dihindari. Ini bukan sekadar miskomunikasi, tetapi bentuk penyingkiran suara publik.
Ketiga, konflik terjadi karena dampaknya langsung menyentuh kebutuhan dasar masyarakat: air, pangan, dan keamanan lingkungan.
Ketika bukit diratakan, mata air hilang, sawah kering, atau risiko longsor meningkat, warga melihat itu sebagai ancaman terhadap hidup mereka.
Tidak ada kompromi di titik ini—warga akan melawan karena yang dipertaruhkan bukan sekadar lahan, tetapi keselamatan.
Keempat, konflik diperparah oleh lemahnya penegakan hukum dan tata ruang. Banyak proyek alih fungsi lahan berjalan tanpa KKPR, tanpa PBG, atau tanpa kajian lingkungan.
Namun ironisnya, pengawasan pemerintah sering kali tidak muncul sampai konflik pecah di lapangan. Pembiaran seperti ini dianggap publik sebagai bentuk keberpihakan pada kepentingan tertentu.
Kelima, alih fungsi lahan sering dijalankan dengan cara yang menggeser hak rakyat secara sistematis.
Ketika sawah produktif dan ruang hijau diganti menjadi beton, masyarakat kehilangan mata pencaharian, kehilangan ruang lingkungan, dan pada akhirnya kehilangan masa depan. Setiap proses yang menghilangkan hak-hak ini pasti melahirkan perlawanan.
Alih fungsi lahan menjadi sumber konflik karena dilakukan tanpa transparansi, tanpa keadilan, tanpa perlindungan lingkungan, dan tanpa menghormati hak masyarakat.
Selama pola ini tidak diubah, konflik akan terus muncul di setiap proyek yang mengorbankan ruang hidup warga.
Catatan Redaksi
