NARASINETWORK.COM - KAB. BANDUNG
-Sidang lanjutan perkara tindak pidana penganiayaan yang melibatkan Kepala Sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Gozali kembali memicu polemik. Kasus yang telah bergulir sejak Juni 2024 ini menimbulkan kekecewaan mendalam bagi keluarga korban, yang menilai proses hukum berjalan tidak adil dan jauh dari rasa kemanusiaan.
Sidang berlangsung di ruangan Wirjono Prodjodikoro. Baleendah, Kabupaten Bandung pada Kamis (16/10/2025).
Korban berinisial H (10) disebut mengalami kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan oleh Muhammad Syadudin, Kepala Sekolah sekaligus Ketua Yayasan MI Al Gozali. Meski terbukti bersalah, majelis hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung hanya menjatuhkan vonis 3 bulan penjara terhadap terdakwa.
“Saya sudah tujuh kali menghadiri persidangan kasus anak saya ini. Sudah satu tahun kami menunggu keadilan, tapi hukuman bagi terdakwa sangat di luar nalar saya,” ujar Ida Yanti, ibu korban, dengan suara bergetar. Ia hadir bersama seorang tetangganya, Kak Bre, yang selama ini mendampinginya.
Menurut Ida, vonis tersebut tidak memberikan efek jera bagi pelaku.
“Hakim memang menolak permohonan pembebasan, tapi hanya menjatuhkan hukuman tiga bulan. Apakah ini yang disebut keadilan? Apakah ini bisa membuat jera?” ucapnya dengan nada kecewa.
Ia menuturkan, akibat tindakan sang kepala sekolah, anaknya mengalami trauma mendalam.
“Anak saya difitnah mencuri handphone, padahal tidak ada bukti sama sekali. Tuduhan itu dibuat untuk menutupi perbuatan terdakwa,” jelasnya sambil menahan tangis.
Fitnah tersebut, lanjutnya, justru membuat anaknya menjadi korban perundungan di lingkungan sekolah.
“Dia dibully, dicap maling oleh teman-temannya. Anak saya jadi takut ke sekolah,” tambahnya lirih.
Tragedi ini juga berdampak berat pada keluarga korban. Dua bulan lalu, sang ayah meninggal dunia akibat serangan stroke. Ida meyakini, tekanan mental dan stres karena kasus ini menjadi pemicu utama.
“Suami saya terlalu memikirkan semua ini. Dia sakit hati, merasa tidak berdaya menghadapi ketidakadilan. Dua bulan lalu dia meninggal mendadak. Dunia saya runtuh,” kata Ida dengan mata berkaca-kaca.
Tidak berhenti di situ, Ida juga mengaku mendapat intimidasi dari pihak keluarga terdakwa.
“Ada orang yang mencari-cari rumah saya. Tetangga bilang mereka dari pihak keluarga Syadudin,” ungkapnya.
Ia mengaku kini hidup dalam ketakutan dan kebingungan. “Saya rakyat biasa. Tidak punya kekuasaan, tidak tahu harus minta perlindungan ke siapa,” ucapnya.
Dari informasi yang diterima keluarga, korban penganiayaan oleh terdakwa bukan hanya anaknya.
“Setelah kasus ini mencuat, ternyata banyak juga anak-anak lain yang pernah dianiaya. Ada yang ditempeleng, dipukul, bahkan sampai lebam,” terang Ida.
Lebih miris lagi, menurut kesaksian para orang tua, sang kepala sekolah justru bersikap seolah tidak bersalah.
“Dia memainkan peran seolah dirinya korban. Seakan-akan kebal hukum dan punya ‘backing’ di belakangnya,” katanya.
Sementara itu, keluarga korban telah melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Mereka menilai, ada kejanggalan dalam penegakan hukum terhadap terdakwa.
“Dari hasil konsultasi kami ke Kejati, seharusnya terdakwa bisa dijerat hukuman berat. Setidaknya ancaman 15 tahun penjara sesuai pasal penganiayaan terhadap anak. Tapi kenyataannya hanya 3 bulan. Ini janggal,” tegas Ida.
Meski dihantam kesedihan dan ketakutan, Ida masih berharap keadilan berpihak pada anaknya dan para korban lainnya.
“Saya hanya ingin keadilan ditegakkan. Anak saya tidak pantas mengalami ini. Jangan sampai ada lagi anak yang jadi korban kekerasan dari orang yang seharusnya mendidik,” pungkasnya.
**