NARASINETWORK.COM - Di Tempat Pelelangan Ikan Muara Angke, Jakarta, aktivitas dimulai sebelum matahari terbit. Nelayan kembali dari laut dengan ikan segar yang ditawar pedagang. Di tengah keramaian ini, tersembunyi potensi besar laut Indonesia dalam menopang ketahanan pangan nasional.
Konsep pangan biru atau blue food, yaitu pemanfaatan sumber daya perairan secara berkelanjutan untuk menyediakan pangan bagi masyarakat, semakin mengemuka sebagai strategi kunci masa depan. Bagi negara maritim seperti Indonesia, pangan biru bukan hanya alternatif, tetapi penopang utama sistem pangan jika dikelola dengan tepat. Di tengah dinamika global, Indonesia terus mencari model ketahanan pangan yang adaptif, inklusif, dan berkelanjutan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pernah menyampaikan potensi besar blue food Indonesia dalam mendukung program ketahanan pangan dunia. Blue food dari perikanan tangkap dan budidaya mencapai 24 juta ton per tahun, termasuk rumput laut.
Pihaknya menargetkan peningkatan volume produksi, terutama dari perikanan budi daya, demi menjaga keberlanjutan populasi perikanan di alam.
Selama ini, pembahasan ketahanan pangan sering berfokus pada pertanian darat. Padahal, Indonesia memiliki lebih dari 6,4 juta km² wilayah laut. Potensi protein hewani, mikroalga, rumput laut, dan biota perairan lainnya sangat besar, namun kontribusinya belum optimal.
Laut adalah anugerah kaya dan terbarukan yang bisa menopang kebutuhan protein nasional. Pandangan ini sejalan dengan tren dunia yang menempatkan pangan biru sebagai pilar menghadapi krisis pangan global.
Pangan biru bukan hanya ikan, tetapi juga perikanan tangkap berkelanjutan, akuakultur moderat yang rendah emisi dan hemat lahan, rumput laut sebagai superfood dan bahan baku industri, mikroalga sebagai sumber protein masa depan, kerang dan bivalvia yang mampu tumbuh tanpa pakan tambahan, serta produk olahan laut bernilai tinggi.
Keunggulannya adalah kemampuannya menyediakan protein berkualitas tinggi dengan jejak karbon yang lebih rendah dibandingkan daging sapi atau unggas. Di tengah tekanan perubahan iklim dan terbatasnya lahan pertanian, laut menjadi ruang yang siap dikembangkan.
Pemerintah mulai melihat pangan biru sebagai sektor strategis. Program modernisasi kapal, penguatan logistik rantai dingin, dan pemberdayaan pembudidaya ikan dan petani rumput laut menjadi bagian dari transformasi besar.
Peningkatan investasi pada budidaya berbasis teknologi, seperti keramba jaring apung lepas pantai, hatchery terstandar, sistem resirkulasi akuakultur (RAS), dan sertifikasi keamanan pangan laut, menjadi momentum penting. Kombinasi kebijakan ini bertujuan meningkatkan produksi dan memastikan keberlanjutan ekosistem laut.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) optimistis pangan biru akan berkontribusi mendukung ketahanan pangan nasional, dan perikanan budi daya menjadi sektor potensial. Untuk itu, KKP menggencarkan riset terapan oleh satuan pendidikan yang dimiliki, guna mendukung peningkatan produktivitas blue food.
Berdasarkan laporan Badan Pangan Dunia (FAO) tahun 2024, produksi blue food dari hasil tangkapan di tahun 2022 mencapai 90 sampai 94 juta ton. Data produksi perikanan budidaya menunjukkan peningkatan yang mencolok.
Kepala Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan (Pusdik KP) Alan Frendy Koropitan menyatakan bahwa produksi perikanan budidaya melesat tajam dan hampir menyamai produksi perikanan tangkap. Pada 12 November lalu, KKP melalui Polteknik Ahli Usaha Perikanan menggelar Seminar Nasional Perikanan Indonesia (SNPI) ke-26 dengan tema “Inovasi Blue Food Menuju Ketahanan Pangan Indonesia yang Berkelanjutan”, sebagai sarana diseminasi pentingnya blue food sebagai solusi krisis pangan masa depan. Diproyeksikan pada 2030, konsumsi ikan akan melonjak karena meningkatnya populasi manusia.
Dalam konteks blue food, keberadaan satuan pendidikan tinggi KKP menjadi relevan karena menerapkan ilmu-ilmu terapan di bidang produksi perikanan. Pihaknya tengah mengkurasi hasil-hasil riset terapan satuan-satuan pendidikan KKP untuk masyarakat.
Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) M. Rahmat Mulianda mengungkapkan tiga alasan pentingnya blue food untuk Indonesia, yaitu nutrisi untuk kesehatan, potensi ekonomi dan ketenagakerjaan, serta keberlanjutan dan ketahanan iklim.
Di berbagai desa pesisir, rumput laut telah menjadi penyelamat ekonomi keluarga. Rumput laut dapat tumbuh tanpa air tawar, pupuk, atau lahan luas. Kandungan nutrisinya pun luar biasa. Para ahli menyebut rumput laut sebagai “komoditas masa depan” untuk pangan, farmasi, dan kosmetik. Indonesia sebagai produsen rumput laut terbesar dunia memiliki peluang besar untuk memimpin pasar ini.
Organisasi internasional seperti FAO memprediksi bahwa perikanan dan akuakultur akan memasok lebih dari 60 persen protein hewani dunia pada 2030. Dengan kekayaan laut Nusantara, Indonesia berada dalam posisi emas untuk menjadi motor utama pangan biru dunia.
Namun, peluang itu datang dengan tantangan, seperti penangkapan ikan berlebihan, perubahan iklim, polusi plastik, dan lemahnya infrastruktur hilir. Pangan biru hanya bisa berkontribusi maksimal jika laut dijaga, nelayan diberdayakan, dan teknologi dikuatkan.
Pangan biru adalah potensi besar yang sedang tumbuh. Transformasi kebijakan, penerapan teknologi, dan peningkatan kapasitas pelaku usaha menjadi fondasi penting untuk memastikan laut Indonesia tetap menjadi sumber kehidupan yang berkelanjutan. Ke depan, pangan biru bukan hanya pelengkap, tetapi komponen utama dalam strategi besar mewujudkan ketahanan pangan nasional yang kuat, modern, dan berdaulat.
Indonesia memiliki semua syarat untuk menjadi negara maritim yang mampu menyediakan pangan dari lautan bagi rakyatnya dan dunia. Dengan komitmen yang konsisten, pangan biru akan menjadi pilar penting dalam menata masa depan ketahanan pangan Indonesia.
Di Muara Angke, para nelayan kembali menurunkan hasil tangkapan mereka, menanam harapan besar bahwa pangan biru dapat menjadi tiang penyangga masa depan bangsa. Laut adalah lumbung masa depan yang menjadi sumber kekuatan baru yang siap menopang kedaulatan pangan Indonesia.
