NARASINETWORK.COM - Di masa remaja, banyak hal berubah sekaligus. Tubuh berkembang, tuntutan akademik meningkat, hubungan sosial semakin kompleks, dan identitas diri mulai dipertanyakan. Perubahan ini sering membuat remaja berada dalam kondisi psikologis yang labil. Namun, ada satu gejala yang jarang disadari sebagai masalah yang lebih dalam: rasa malas beribadah yang muncul bersamaan dengan perasaan kosong dan hilangnya makna hidup.
Beberapa kasus yang ditemui, bahwa beberapa remaja bukan sekadar “malas” dalam arti sederhana. Mereka sebenarnya sedang mengalami ketegangan batin yang cukup serius. Sebagian merasa hidup berjalan otomatis, seperti bangun pagi, sekolah, mengerjakan tugas, pulang, mengulang lagi. Tidak ada ruang untuk bertanya “apa yang sebenarnya aku inginkan?”, “apa yang membuatku bahagia?”, atau “untuk apa aku menjalani semua ini?”
Secara psikologis, kondisi ini dikenal sebagai kekosongan eksistensial. Ini bukan bentuk depresi berat, tetapi semacam kehampaan yang muncul ketika seseorang belum menemukan tujuan atau makna yang membuat hidup terasa berarti. Ketika makna hidup hilang, motivasi intrinsik juga melemah. Dalam teori self-determination, manusia butuh merasa memiliki kendali, merasa kompeten, dan merasa terhubung secara emosional. Bila ketiga kebutuhan ini tidak terpenuhi, seseorang mudah kehilangan arah termasuk dalam aspek spiritual.
Pada beberapa remaja, rasa malas beribadah sebenarnya merupakan gejala turunan dari kondisi emosional tersebut. Ibadah membutuhkan kesadaran, ketenangan, dan orientasi moral yang stabil. Tetapi bagaimana mungkin mereka fokus ketika pikiran dipenuhi pertanyaan-pertanyaan besar yang belum terjawab? Bagaimana bisa hati mereka terasa dekat pada ibadah, jika pada saat yang sama mereka merasa jauh dari diri sendiri?
Remaja sering menyembunyikan ini semua. Mereka takut dibilang “nakal”, “kurang iman”, atau “pemalas”. Padahal, di balik perilaku religius yang menurun, ada lapisan-lapisan psikologis yang rumit: rasa tidak berharga, kebingungan identitas, tekanan sosial, perbandingan diri dengan teman yang dianggap “lebih sukses”, hingga ketakutan bahwa hidup tidak memiliki arah.
Membantu remaja dalam kondisi seperti ini tidak cukup hanya dengan menegur atau memberikan nasihat moral. Mereka membutuhkan pendekatan psikologis yang empatik. Mulai dari mengajarkan self-awareness sederhana, membantu mereka mengenali emosi yang muncul, hingga memberi ruang bagi mereka untuk mengeksplorasi nilai apa yang sebenarnya mereka anggap penting. Ketika remaja mulai memahami diri mereka, mereka lebih mudah membangun kembali makna hidup yang hilang.
Intervensi kecil juga sangat efektif, seperti meminta mereka membuat “jurnal makna” berisi hal-hal yang membuat mereka merasa hidup, atau menemukan aktivitas kecil yang memberi rasa pencapaian. Langkah sederhana ini membantu otak membentuk asosiasi baru, bahwa hidup tidak sesuram yang dibayangkan.
Seiring makna hidup mulai tumbuh kembali, aspek religius biasanya ikut pulih. Ibadah tidak lagi terasa seperti kewajiban berat, tetapi menjadi ruang aman untuk menenangkan diri dan menyambungkan kembali apa yang selama ini terputus seperti, hubungan dengan diri, dengan Tuhan, dan dengan harapan-harapan yang dulu mereka simpan.
Pada akhirnya, pesan terpenting adalah: remaja tidak kehilangan semangat ibadah karena mereka membangkang, tetapi karena mereka sedang kehilangan makna.
Dan tugas kita bukan menghakimi, tetapi menemani perjalanan mereka menemukan dirinya kembali.
