NARASINETWORK.COM - Di era digital yang serba cepat, generasi muda Indonesia berada dalam pusaran dua kutub budaya: warisan budaya lokal yang kaya dan gelombang budaya global yang deras. Perpaduan dua dunia ini memunculkan fenomena identitas budaya hibrida, yakni ketika individu mengadopsi dan menggabungkan unsur-unsur budaya yang berbeda dalam pembentukan jati dirinya. Fenomena ini bukan hanya mencerminkan dinamika zaman, tetapi juga menyimpan tantangan psikososial yang perlu dipahami lebih dalam, terutama dalam konteks konseling multibudaya.
Budaya lokal dan global di kepala yang sama. Remaja Indonesia kini dapat mengenakan batik sambil mendengarkan musik K-pop, atau mengunggah tarian tradisional dalam format TikTok dengan iringan lagu pop Korea atau Barat. Tidak jarang pula mereka menggunakan Bahasa Indonesia, Jawa, dan istilah slang Inggris dalam satu kalimat. Fenomena ini tampak jelas dalam tren seperti:
- Konsumen budaya Korea yang mengadopsi gaya berpakaian, pola makan, hingga standar kecantikan ala K-Idol.
- Fashion TikTok, di mana kebaya dikreasikan ulang dengan gaya streetwear modern.
- Komunitas kreatif urban yang mencampur motif etnik dengan desain grafis digital dalam produk-produk lokal.
Namun, identitas budaya hibrida tidak selalu diterima dengan tangan terbuka. Sebagian masyarakat mempertanyakan keaslian nilai-nilai yang dibawa generasi muda. Muncul kritik seperti “anak zaman sekarang sudah lupa budaya”, atau “lebih suka budaya luar daripada budaya sendiri”. Di sisi lain, generasi muda justru merasa tertekan oleh ekspektasi untuk mempertahankan budaya tanpa ruang untuk berinovasi.
Dalam teori akulturasi Berry (1997), proses pembentukan identitas budaya generasi muda dapat digolongkan ke dalam empat strategi: asimilasi, separasi, marginalisasi, dan integrasi. Strategi integrasi yakni kemampuan untuk mempertahankan budaya asal sambil beradaptasi dengan budaya baru dianggap sebagai bentuk akulturasi paling adaptif dan sehat secara psikologis.
“Integration occurs when individuals maintain their original culture while also seeking to participate in the larger society” Berry, J.W. (1997). Immigration, Acculturation, and Adaptation.
Namun, tidak semua individu mampu menjalani integrasi secara seimbang. Banyak yang mengalami kebingungan identitas, tekanan dari keluarga, bahkan konflik batin akibat nilai-nilai yang bertentangan.
Teori kesadaran budaya dari Sue & Sue (2016) juga relevan di sini. Mereka menekankan pentingnya cultural self-awareness dan pemahaman terhadap dinamika kekuasaan budaya.
“Culturally competent counselors must be aware of their own assumptions, values, and biases, and understand the worldview of the culturally different client.” Sue, D.W., & Sue, D. (2016). Counseling the Culturally Diverse: Theory and Practice.
Dalam konteks konseling, fenomena ini bisa menjadi ruang refleksi sekaligus pemberdayaan bagi klien. Pendekatan konseling berbasis keberagaman dan afirmatif sangat dianjurkan, yaitu pendekatan yang mengakui identitas hibrida sebagai kekuatan, bukan deviasi. Beberapa strategi aplikatif dalam praktik konseling antara lain:
- Dialog identitas budaya dalam sesi konseling individu.
- Pemetaan identitas kultural.
- Konseling kelompok di sekolah dan kampus.
- Kolaborasi dengan guru dan orang tua.
Identitas budaya hibrida generasi muda Indonesia adalah produk dari zaman yang dinamis. Alih-alih dilihat sebagai ancaman terhadap otentisitas budaya, ia seharusnya dibaca sebagai strategi adaptasi dan kreativitas. Tantangan bagi konselor masa kini adalah untuk tidak menjadi penilai budaya, tetapi menjadi fasilitator pemahaman lintas budaya yang sehat dan memberdayakan.
Dengan pendekatan konseling multibudaya yang sensitif dan inklusif, generasi muda dapat diberdayakan untuk menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan budaya bangsa.