Pernikahan Anak di Lombok: Antara Tradisi Merariq dan Perlindungan Hak Anak dalam Perspektif Konseling Multibu

Rabu, 4 Jun 2025 20:45
    Bagikan  
Pernikahan Anak di Lombok: Antara Tradisi Merariq dan Perlindungan Hak Anak dalam Perspektif Konseling Multibu
Istimewa

Pernikahan Usia Dini di Lombok

NARASINETWORK.COMDi Lombok kita menyaksikan sebuah tradisi yang menjadi tragedi. Kasus viral pernikahan anak di Lombok yang melibatkan pasangan pengantin di bawah umur, yakni seorang gadis berusia 14-15 tahun dan seorang laki-laki berusia 16-17 tahun. Pernikahan anak yang sejatinya adalah bentuk pemiskinan masa depan justru dirayakan dalam bingkai budaya Merariq. Tradisi ini mengharuskan pernikahan jika perempuan dibawa lari selama lebih dari 24 jam, sehingga keluarga merasa terpaksa menikahkan pasangan tersebut meskipun secara hukum usia mereka belum memenuhi syarat minimal 19 tahun sesuai Undang-Undang Perkawinan.

Merariq sendiri merupakan adat pernikahan khas suku Sasak Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, di mana seorang laki-laki membawa kabur calon pengantin perempuan tanpa izin dari keluarga si perempuan. Setelah itu, dilakukan proses musyawarah antar keluarga, yang disebut selabar, untuk menyepakati hal-hal adat seperti pembayaran ajikrame dan pisuke. Barulah kemudian dilakukan akad nikah secara Islam dan prosesi adat seperti nyongkolan. Meskipun dianggap simbol tanggung jawab laki-laki, praktik ini menuai kritik, terutama jika dilakukan terhadap anak di bawah umur atau tanpa persetujuan sepenuhnya dari pihak perempuan.

Meski ada usaha dari pemerintah desa untuk mencegah pernikahan anak, seperti memisahkan pasangan atau menolak pencatatan nikah, tekanan sosial dan adat membuat praktik ini tetap terjadi. Padahal secara hukum, pernikahan anak melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, karena batas usia minimal menikah adalah 19 tahun. Pelanggaran terhadap aturan ini bisa dikenai sanksi pidana, bahkan hukuman penjara.

Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram telah melaporkan kasus pernikahan anak ini ke pihak kepolisian, dan pasangan pengantin serta orang tua mereka telah dipanggil untuk diperiksa guna klarifikasi. Polda NTB dan Polres Lombok Tengah aktif melakukan penyelidikan dan identifikasi untuk menelusuri keterlibatan semua pihak yang memfasilitasi pernikahan anak, termasuk orang tua dan penghulu desa yang menikahkan pasangan tersebut.

Berbagai pihak, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan PBNU, menyerukan agar tradisi pernikahan dini di Lombok diubah karena dampak negatifnya, terutama terhadap kesehatan dan masa depan anak-anak yang menikah di usia sangat muda. Mereka juga mendesak adanya sanksi tegas bagi pihak-pihak yang memfasilitasi pernikahan anak agar memberikan efek jera dan memperkuat sistem perlindungan anak secara komprehensif di daerah tersebut.

Secara singkat, pernikahan anak di Lombok masih terjadi karena kuatnya tradisi merariq dan kawin lari yang mengikat secara sosial dan adat, meskipun bertentangan dengan hukum nasional yang melarang pernikahan di bawah umur. Upaya hukum dan sosial terus dilakukan untuk menanggulangi praktik ini, namun kompleksitas adat dan norma masyarakat menjadi tantangan utama dalam menghapus pernikahan anak di wilayah ini.

Isu Pernikahan Anak di Lombok Berdasarkan Teori Konseling Multibudaya

Dalam perspektif konseling multibudaya, isu pernikahan anak di Lombok dapat dianalisis menggunakan teori kesadaran budaya dan teori integrasi budaya. Konseling multibudaya adalah proses yang membantu individu menerima, mengevaluasi, dan menginternalisasi sistem budaya yang berbeda dari miliknya, dengan tujuan menciptakan pemahaman dan toleransi antarbudaya.

Teori Kesadaran Budaya menekankan pentingnya konselor untuk memiliki kesadaran diri yang kuat terhadap nilai, keyakinan, dan bias budaya pribadi agar dapat memahami latar belakang budaya konseli secara mendalam. Dalam kasus ini, konselor harus memahami bahwa tradisi Merarik merupakan bagian dari budaya lokal yang sangat melekat, sekaligus menyadari bahwa praktik ini berpotensi melanggar hak anak dan hukum nasional. Kesadaran budaya ini memungkinkan konselor untuk menghindari penilaian sepihak dan membangun hubungan yang empatik serta efektif dengan individu atau keluarga yang terdampak.

Teori Lintas Budaya mengajak konselor untuk menggabungkan nilai-nilai budaya konseli dengan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan perlindungan anak. Pendekatan ini menuntut konselor untuk menyeimbangkan penghormatan terhadap budaya lokal dengan kebutuhan untuk melindungi kesejahteraan anak-anak. Konselor dapat membantu keluarga dan masyarakat untuk memahami konsekuensi negatif dari pernikahan anak sekaligus mencari cara-cara alternatif yang menghormati budaya namun tidak merugikan anak.

Solusi Realistis dan Praktis dari Perspektif Konseling

Dari perspektif konseling, solusi untuk menangani isu pernikahan anak di Lombok harus berfokus pada:

  • Peningkatan kesadaran dan pendidikan budaya bagi keluarga dan masyarakat tentang hak anak dan dampak negatif pernikahan dini. Konselor dapat mengadakan sesi edukasi yang menggabungkan nilai-nilai budaya dengan informasi kesehatan, pendidikan, dan hukum perlindungan anak.
  • Konseling keluarga dan remaja yang mengalami tekanan budaya untuk menikah dini. Konseling ini bertujuan membantu mereka mengenali hak-hak mereka, mengelola tekanan sosial, dan merencanakan masa depan yang lebih baik, termasuk melanjutkan pendidikan.
  • Pendekatan transkultural dalam konseling, yaitu konselor harus sensitif terhadap nilai-nilai budaya lokal namun tetap berkomitmen pada perlindungan anak. Konselor dapat menjadi mediator yang membantu keluarga mencari solusi yang menghormati tradisi namun tidak merugikan anak.
  • Pelibatan tokoh adat dan agama dalam proses konseling dan edukasi agar pesan perlindungan anak diterima secara luas dan tidak dianggap sebagai ancaman terhadap budaya.
  • Penguatan sistem perlindungan anak melalui kerja sama antara lembaga perlindungan anak, aparat hukum, dan konselor untuk mencegah pernikahan anak dan memberikan dukungan psikososial bagi korban.

Dalam praktik konseling, solusi ini dapat diterapkan melalui sesi konseling individual dan kelompok, pelatihan kesadaran budaya bagi konselor dan masyarakat, serta program advokasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Konselor berperan sebagai fasilitator yang membangun dialog antara budaya dan hukum untuk menciptakan perubahan positif yang berkelanjutan.

Isu pernikahan anak di Lombok adalah tantangan kompleks yang memerlukan pendekatan multibudaya dan kolaborasi lintas sektor. Dengan memahami budaya sekaligus melindungi hak anak, konseling dapat menjadi salah satu kunci untuk mengubah praktik tradisional yang merugikan menjadi sebuah proses yang menghormati dan memberdayakan generasi muda.

Baca Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News

Berita Terbaru

Anggi Wahyuda "Sebuah Keberanian dan Ketahanan Manusia"
DARI DESA LAHIR INSPIRASI : Wasnadi dan WAS GALLERY "Menjaga Warisan Seni Pahat Topeng dari Slangit, Cirebon"
Garuda Mengudara! Indonesia Taklukkan China, Lanjutkan Perjuangan ke Piala Dunia 2026
Transform Your Style : Kacamata Baru? Pilih Bingkai yang Tepat!
Sambut Idul Adha 2025 : Malam Takbiran Penuh Berkah
Wawancara Tokoh : Sukri Budi Dharma (Butong Idar) "Menyuarakan Disabilitas Lewat Kanvas dan Aksi"
Membedah Isu Rasisme Representatif pada Animasi Upin & Ipin dari Perspektif Seorang Konselor
Wota Wati: Kisah Adaptasi di Bawah Bayang Gunung Karst, Peran Konseling dalam Merajut Kembali Nilai Tradisi
Pernikahan Anak di Lombok: Antara Tradisi Merariq dan Perlindungan Hak Anak dalam Perspektif Konseling Multibu
Merajut Harmoni di Tengah Perbedaan: Modal Sosial sebagai Pilar Kehidupan Multikultural di Jayapura
Muda, Global, dan Lokal: Pergulatan Identitas Budaya Hibrida Generasi Indonesia
Antara Dua Dunia: Dilema Mahasiswa Rantau Menjaga Jati Diri di Kota Besar
Kali Kuto : Antara Mitos dan Kenyataan
Puasa Tarwiyah dan Arafah : Amalan Sunnah Menuju Idul Adha
Calon Jurnalis Masa Depan Berkembang di SMAN 1 Gringsing
Pesona Fotuno Rete "Permandian Mata Air Alami di Pulau Muna"
Hari Jadi Bogor ke-543 : Merayakan Sejarah, Membangun Masa Depan
Global Poetry Action for Palestine : A Chorus of Voices from Around the World   
DARI DESA LAHIR INSPIRASI : Hartdisk Membangun Desa Huntu yang Berkelanjutan
Desa Wisata Kubu Gadang "Meramu Tradisi Menjadi Pariwisata Modern"