Dari Tubuh yang "Berbeda" Menuju Marginalisasi : Diskursus Bullying dan Anak Disabilitas

Rabu, 15 Oct 2025 00:38
    Bagikan  
Dari Tubuh yang "Berbeda" Menuju Marginalisasi : Diskursus Bullying dan Anak Disabilitas
Istimewa

Bullying terhadap anak disabilitas berakar pada pandangan masyarakat yang menganggap perbedaan fisik sebagai kekurangan. Diskursus yang merendahkan disabilitas melanggengkan marginalisasi.

NARASINETWORK.COM - Pengakuan seorang anak, "Ibu, di sekolah tadi mereka mengatakan kedua kakiku adalah kutukan untuk tidak bisa berjalan dengan baik," bukan sekadar keluhan personal, melainkan sebuah cerminan nyata dari fenomena sosial yang kompleks: bullying terhadap anak disabilitas. Lebih dari sekadar tindakan kekerasan individu, insiden semacam ini berakar pada konstruksi sosial mengenai "perbedaan" tubuh dan bagaimana diskursus dominan melanggengkan marginalisasi.

Konsep "tubuh yang berbeda" bukanlah entitas objektif, melainkan sebuah konstruksi sosial yang dibentuk oleh norma-norma yang berlaku. Masyarakat cenderung menetapkan standar "normalitas" fisik dan fungsional, dan setiap deviasi dari standar tersebut seringkali dilabeli sebagai "berbeda" atau bahkan "abnormal."

Dalam konteks disabilitas, model medis cenderung melihat disabilitas sebagai kekurangan atau kerusakan pada individu yang perlu diperbaiki atau disembuhkan. Diskursus ini secara implisit menempatkan individu disabilitas sebagai "lain" atau "kurang," memfokuskan pada keterbatasan fisik daripada potensi atau keberagaman manusia. Akibatnya, tubuh yang memiliki disabilitas tidak hanya dianggap berbeda secara fisik, tetapi juga secara sosial dan bahkan moral, sebagaimana tersirat dalam frasa "kutukan" yang diucapkan anak tersebut.

Pelabelan "berbeda" ini kemudian menjadi pemicu utama bagi proses marginalisasi. Marginalisasi adalah proses penyingkiran individu atau kelompok dari partisipasi penuh dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.

Bagi anak disabilitas, bullying menjadi salah satu mekanisme paling langsung dan agresif dari marginalisasi ini. Tindakan bullying, baik verbal, fisik, maupun psikologis, secara eksplisit menargetkan "perbedaan" tersebut, mengolok-olok cara berjalan, berbicara, atau penampilan fisik yang tidak sesuai dengan norma.

Ini bukan hanya tentang ejekan sesaat; bullying secara sistematis merusak harga diri, kepercayaan diri, dan rasa memiliki anak disabilitas. Mereka dipaksa untuk merasa malu atas tubuh mereka sendiri, yang seharusnya menjadi sumber kekuatan dan identitas.

Diskursus yang melingkupi disabilitas memiliki peran dalam membentuk dan melanggengkan praktik bullying. Diskursus ini mencakup bahasa yang digunakan, representasi dalam media, serta narasi-narasi yang beredar di masyarakat. Frasa seperti "cacat," "tidak sempurna," atau bahkan "kasihan" yang seringkali muncul dalam percakapan sehari-hari, secara tidak langsung menanamkan gagasan bahwa disabilitas adalah sesuatu yang patut dikasihani atau direndahkan.

Diskursus ableisme, yang mengistimewakan kemampuan fisik tertentu dan merendahkan yang lain, menciptakan lingkungan di mana bullying terhadap anak disabilitas dianggap sebagai hal yang "wajar" atau bahkan "tidak disengaja." Ketika masyarakat kurang teredukasi dan tidak memiliki empati yang memadai, diskursus ini menjadi pupuk bagi tumbuhnya perilaku perundungan. Anak-anak yang melakukan bullying seringkali hanya mereplikasi apa yang mereka serap dari lingkungan dan diskursus yang dominan, tanpa menyadari dampak destruktifnya.

Untuk mengatasi bullying terhadap anak disabilitas, diperlukan lebih dari sekadar kampanye anti-bullying sporadis. Kita harus bergerak menuju dekonstruksi konsep "perbedaan" yang merugikan dan membangun diskursus yang inklusif. Ini berarti menantang norma-norma "normalitas" yang sempit dan merangkul keberagaman tubuh dan kemampuan sebagai bagian inherent dari kemanusiaan.

Model sosial disabilitas harus menjadi landasan pemahaman kita, yang menyatakan bahwa disabilitas bukanlah masalah individu, melainkan hasil dari hambatan-hambatan yang diciptakan oleh masyarakat. Langkah-langkah konkret meliputi edukasi di sekolah dan keluarga tentang disabilitas, empati, dan penghormatan terhadap perbedaan. Kurikulum harus dirancang untuk mempromosikan inklusi dan representasi positif individu disabilitas.

Media harus bertanggung jawab dalam menyajikan narasi yang memberdayakan dan akurat, bukan stereotip. Kebijakan anti-bullying harus ditegakkan secara tegas, dan lingkungan fisik serta sosial harus dirancang agar dapat diakses dan inklusif bagi semua. Yang terpenting, kita harus secara aktif mengubah diskursus dari yang berpusat pada "kekurangan" menjadi yang merayakan "keberagaman," dari yang menyingkirkan menjadi yang merangkul.

Pada akhirnya, kalimat "kedua kakiku adalah kutukan" adalah sebuah seruan yang menyayat hati, sebuah indikator bahwa tubuh yang "berbeda" masih menjadi sasaran marginalisasi melalui bullying. Mengakhiri siklus ini membutuhkan komitmen kolektif untuk mendekonstruksi prasangka, mengubah diskursus, dan membangun masyarakat yang benar-benar inklusif.

Hanya dengan demikian, setiap anak, terlepas dari kondisi fisiknya, dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman, dihargai, dan diakui sebagai bagian integral dari kemanusiaan.

Baca juga: Dari Langkah Kecil Menuju Indonesia Emas 2045: Centratama dan Human Initiative Hadirkan Pojok Baca Digital

Baca Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News

Berita Terbaru

Dari Tubuh yang "Berbeda" Menuju Marginalisasi : Diskursus Bullying dan Anak Disabilitas
Melani Miryam Wamea "Lentera dari Timur, Pengabdian untuk Ibu Pertiwi"
Flyover Bojongsoang Dinantikan Warga, Kapan Mau Dibangun ?
Akulturasi Budaya dalam Seporsi Ketoprak Stasiun Tebet
Maghrib di Istiqlal : Refleksi Spiritualitas di Jantung Batavia
Dari Langkah Kecil Menuju Indonesia Emas 2045: Centratama dan Human Initiative Hadirkan Pojok Baca Digital
'Dandiya Raas' dan Pesona Seni India di Jakarta : Karya Vijay Laxmi Birla dalam Pameran 'THE FUTURE'
Kang DS Minta Pengurus Koperasi Desa Merah Putih Kuasai Digitalisasi: “Jangan Asal Pinjamkan Dana!”
Wakil Ketua DPR RI Sebut Anggaran di Kemensos Belum Terserap Maksimal, Beruntung Sekolah Rakyat Terealisasi
Sosialisasi Makan Bergizi Gratis di Depok: Dorong Dukungan Masyarakat untuk Anak Sehat dan Cerdas
Viral! Warga Solokanjeruk Terpaksa Gunakan Odong-Odong Larikan Pasien Ke Rumah Sakit
Proyek Tol Getaci: Tol Terpanjang di Indonesia yang Masih Tertunda
Bupati Bandung Dorong Operasional Koperasi Merah Putih Kolaborasi Dengan SPPG 
Kutu Rambut? No Way! Tips Efektif Menjaga Rambut Anak Tetap Bersih dan Sehat
Pentas Sastra Badan Bahasa 2025 : Tampilkan Ragam Ekspresi Sastra dari 87 Penampil Terpilih
RSUD Majalaya Edukasi Masyarakat Sejak Dini, Pentingnya Kesehatan Gigi dan Mulut
Program Makan Bergizi Gratis di Depok: Komitmen Pemerintah Wujudkan Generasi Emas 2045
Program Makan Bergizi Gratis di Kabupaten Bandung: Wujud Komitmen Bersama Membangun Generasi Emas Indonesia
Uban : Menerima, Menyembunyikan, atau Menghadapinya dengan Gaya?
Evolusi Tawas : Dari Kristal Tradisional hingga Produk Modern Penghilang Bau Badan