Analisis Sentimen Publik : Soeharto Jadi Pahlawan, Suara Netizen Terbelah

Senin, 10 Nov 2025 16:55
    Bagikan  
Analisis Sentimen Publik : Soeharto Jadi Pahlawan, Suara Netizen Terbelah
Istimewa

Potret Presiden ke- 2 Republik Indonesia Soeharto

NARASINETWORK.COM - BANDUNG

-Pengangkatan Presiden Republik Indonesia kedua, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional kembali menjadi perdebatan publik, baik itu dalam pemberitaan media, ataupun percakapan di media sosial. Wacana tersebut merupakan isu laten yang secara periodik kembali memanas dalam diskursus politik dan sosial Indonesia.

Isu ini tidak pernah tunggal ia merupakan irisan kompleks dari sejarah, memori kolektif, dan kepentingan politik. Di satu sisi, wacana ini diusung dengan argumen kuat mengenai jasa-jasa Soeharto dalam pembangunan ekonomi, stabilitas politik selama lebih dari tiga dekade (Orde Baru), dan keberhasilan mewujudkan swasembada pangan. Bagi para pendukungnya, Soeharto adalah sosok Bapak Pembangunan yang berhasil meletakkan fondasi kemajuan infrastruktur dan birokrasi negara pascakegaduhan politik era pra-1965.


Dua organisasi besar NU dan Muhammadiyah memberikan dukungan penuh kepada pemberian gelar pahlawan nasional Soeharto Lkarena dipandang sangat layak dan memenuhi syarat serta telah memberikan kontribusi konkrit pada bangsa dan negara.

Narasi tersebut cenderung berfokus pada konsekuensi pragmatis kepemimpinannya yang memberikan jaminan keamanan dan pertumbuhan ekonomi makro.

Namun, di sisi lain, wacana ini secara serta-merta membangkitkan trauma sejarah dan perlawanan keras dari kelompok masyarakat sipil, aktivis hak asasi manusia (HAM), korban tragedi 1998, serta para akademisi yang teguh pada penegakan akuntabilitas historis.


Bagi kelompok ini, era Orde Baru (1966–1998) adalah periode kelam yang diwarnai oleh praktik otoritarianisme, represi terhadap oposisi, pembungkaman kebebasan sipil, dan yang paling krusial dugaan pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum terselesaikan, seperti Tragedi 1965/1966, Peristiwa Tanjung Priok, dan kasus penembakan misterius (Petrus).


Selain itu, nama Soeharto identik dengan rezim yang menumbuhsuburkan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang masif dan terstruktur, menjadi pemicu utama keruntuhan rezim tersebut pada Mei 1998.


Oleh karena itu, konteks historis yang dualistis ini menjadikan analisis sentiment publik dan media sebagai alat yang esensial untuk memetakan bagaimana ruang media mainstream yang meliputi media online, cetak dan elektronik serta dan

platform media sosial, seperti X, Facebook, Instagram, Youtube dan Tiktok menjadi arena utama di mana interpretasi sejarah saling berhadapan. Analisis sentimen terhadap wacana gelar Pahlawan Nasional bukan sekadar mengukur popularitas, layak dan tidak layak, melainkan menggali pemetaan konflik ideologis, moral, dan politik yang masih mendera bangsa Indonesia. Setiap komentar, like, atau share dalam diskursus ini menjadi representasi dari bagaimana publik menimbang nilai stabilitas (yang didukung otoritarianisme) versus keadilan (yang disokong demokrasi dan HAM).


TUJUAN DAN PERTANYAAN PENELITIAN


Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika opini publik terkait pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Adapun pertanyaan penelitian menyangkut wacana pemberian gelar pahlawan nasional Soeharto sebagai berikut :

1. Bagaimana struktur dan volume perbincangan publik didistribusikan di berbagai platform (media sosial X, Facebook, Instagram, TikTok, YouTube, media siber, cetak, dan elektronik) dalam merespons pemberian gelar Pahlawan Nasional Soeharto?

2. Bagaimana polaritas sentimen publik (Positif, Negatif, Netral) terhadap pemberian gelar Pahlawan Nasional Soeharto terdistribusi di media mainstream dan media sosial?

3. Tema-tema retoris dan narasi apa saja yang paling dominan digunakan oleh publik untuk mendukung (sentimen positif) dan menolak (sentimen negatif) pemberian gelar Pahlawan Nasional Soeharto?

4. Apakah terdapat perbedaan signifikan dalam polaritas sentimen dan tema perbincangan antara platform media mainstream dan media sosial


ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Sentimen di media arus utama menunjukkan dominasi positif yang sangat kuat dengan 73%. Angka ini jauh melampaui sentimen negatif (21%) dan netral (6%). Temuan ini mengindikasikan bahwa narasi yang dominan di media-media ini cenderung mendukung atau setidaknya menyajikan perspektif yang menyoroti sisipositif Soeharto, terutama terkait kontribusinya kepada bangsa. Narasi ini banyak disampaikan oleh organisasi besar masyarakat seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan beberapa elite politik lainnya.

Di platform X, sentimen positif juga mendominasi dengan 71%, diikuti sentimen netral (20%), dan sentimen negatif (9%). Pola ini serupa dengan media arus utama, menunjukkan bahwa narasi pro-Soeharto juga kuat di Twitter. Mengingat Twitter sering menjadi medan perdebatan politik yang sengit, dominasi sentimen positif dapat mengindikasikan adanya kampanye terorganisir atau resonansi yang kuat dari argumen pendukung Soeharto di platform ini.


Distribusi sentimen di Facebook menunjukkan pola yang berbeda. Sentimen netral menjadi yang paling tinggi dengan 38%, diikuti sentimen negatif (35%), dan sentimen positif (26%). Ini menandakan bahwa diskusi di Facebook cenderung lebih berimbang dan menunjukkan keragaman pandangan.

Persentase netral yang tinggi bisa jadi mencerminkan pengguna yang berhati-hati dalam menyatakan posisi, atau adanya konten informatif yang disajikan tanpa bias sentimen yang kuat.

Instagram menunjukkan sentimen netral yang paling mendominasi dengan 58%, diikuti sentimen negatif (29%), dan sentimen positif (13%). Platform ini yang lebih berfokus pada konten visual mungkin memiliki dinamika yang berbeda, di mana banyak postingan mungkin bersifat informatif tanpa ekspresi sentimen eksplisit, atau penggunaan tagar yang populer mungkin menciptakan kesan netralitas. Sentimen positif yang paling rendah di antara semua platform menunjukkan bahwa narasi pro-Soeharto kurang dominan di Instagram.


Di YouTube, sentimen negatif menjadi yang tertinggi dengan 39%, diikuti sentimen netral (38%), dan sentimen positif (23%). Temuan ini cukup menarik, karena YouTube sering menjadi tempat bagi konten video yang mendalam, dokumenter, atau opini yang lebih panjang. Dominasi sentimen negatif bisa jadi berasal dari kritik terhadap masa lalu Soeharto atau diskusi yang lebih mendalam mengenai pelanggaran HAM atau aspek negatif lainnya di era Orde Baru.


TikTok menunjukkan dominasi sentimen netral (57%), diikuti sentimen negatif (35%), dan sentimen positif (16%). Karakteristik TikTok yang mengedepankan konten video pendek, viral, dan cepat saji mungkin menyebabkan banyak konten bersifat informatif atau hanya sekadar rekap berita tanpa bumbu sentimen yang kuat. Namun, sentimen negatif yang cukup tinggi menunjukkan bahwa isu ini tetap memicu kritik di kalangan pengguna muda platform ini.

Data ini menggambarkan adanya polaritas sentimen yang jelas dalam masyarakat Indonesia mengenai figur Soeharto. Media arus utama dan platform seperti Twitter didominasi sentimen positif yang cenderung menonjolkan capaian dan jasa. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kepentingan editorial, kekuatan narasi pendukung, atau audiens yang memang cenderung memiliki pandangan tersebut.


Di sisi lain, platform seperti YouTube, Facebook dan Tiktok menunjukkan sentimen negatif yang lebih tinggi atau lebih berimbang, mengindikasikan adanya ruang bagi diskursus kritis dan penolakan. Instagram dan TikTok dengan dominasi netral mungkin mencerminkan karakteristik konten yang lebih visual dan cepat. Volume percakapan di media sosial yang jauh lebih besar daripada pemberitaan media arus utama menunjukkan bahwa media sosial adalah arena krusial untuk pembentukan dan ekspresi opini publik, terutama untuk isu-isu yang memicu polarisasi. Keberagaman sentimen di tiap platform juga menegaskan bahwa isu ini tidak satu dimensi dan masih menjadi perdebatan sengit di berbagai lapisan masyarakat.


Analisis terhadap sentimen publik terkait rencana pemberian gelar PahlawanNasional kepada Soeharto menunjukkan gambaran yang kompleks dan terpolarisasi, merefleksikan tarik-ulur ingatan sejarah, kontribusi, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang melekat padanya. Data ini dihimpun dari 5.989 pemberitaan di media mainstream (online, cetak, elektronik) dan 39.351 percakapan di media sosial (X, Facebook, Instagram, YouTube, TikTok) selama periode 1-10 November 2025.

1. Dominasi Sentimen Positif di Media Mainstream dan X:

Media mainstream (online, cetak, elektronik): Menunjukkan dukungan yanpaling kuat dengan 73% sentimen positif, hanya 21% negatif, dan 6% netral.

Hal ini mengindikasikan adanya narasi yang cenderung konstruktif dan kemungkinan agenda pemberitaan yang berfokus pada aspek-aspek positif pemerintahan Soeharto.

X (Twitter): Juga didominasi sentimen positif sebesar 71%, dengan sentimen negatif yang sangat rendah (9%). Ini menunjukkan bahwa di platform X, kelompok pendukung narasi positif tentang Soeharto cukup vokal dan berhasil menciptakan gelombang percakapan yang mendukung.

2. Sentimen Netral dan Negatif yang Signifikan di Platform Visual dan Diskusi:• Instagram (58% Netral), TikTok (57% Netral): Kedua platform berbasis visual ini memiliki proporsi sentimen netral yang sangat tinggi. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh karakteristik konten di platform ini yang lebih fokus pada penyebaran informasi faktual atau visual tanpa diikuti komentar atau opini yang kuat, atau audiensnya yang cenderung lebih muda dan kurang terlibat dalam diskusi politik yang mendalam mengenai isu sejarah tersebut.

Facebook (38% Netral, 35% Negatif), YouTube (38% Netral, 39% Negatif):

Di kedua platform ini, sentimen negatif mencapai puncak tertinggi. Facebook, dengan sifatnya sebagai wadah komunitas dan diskusi, serta YouTube yang memungkinkan konten video mendalam, menjadi sarana bagi pengguna untuk menyuarakan kritik dan keberatan secara lebih eksplisit.


3. Narasi Sentimen Positif berakar kuat pada dukungan organisasi keagamaan yaitu pengakuan dari tokoh NU dan Muhammadiyah yang menyoroti kontribusi Soeharto terhadap kemajuan bangsa dan pembangunan, bahkan menyebutnya sebagai "bibit Muhammadiyah", memberikan legitimasi moral dan sosial bagi pendukungnya. Fokus pada Pembangunan dan Stabilitas: Soeharto dilihat sebagai tokoh yang menjaga stabilitas nasional, membangunpondasi ekonomi, dan memimpin pembangunan yang krusial bagi Indonesia. Narasi ini sering kali mengabaikan aspek-aspek negatif kepemimpinannya demi menekankan pencapaian material.


4. Narasi Sentimen Negatif berpusat pada suara-suaraa kritis yang disampaikan oleh masyarakat sipil, akademisi seperti adanya pelanggaran HAM berat dan pemangkasan kebebasan berpendapat menjadi inti penolakan. Kritik bahwa pemberian gelar pahlawan akan "mematikan demokrasi" dan "bertentangan dengan semangat reformasi 1998" menunjukkan kekhawatiran akan pengabaian sejarah kelam. Korupsi dan kerusakan moral dengan narasi "pengabusan sejarah koruptif" dan "menodai integritas moral bangsa" mencerminkan pandangan bahwa era pemerintahannya diwarnai praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang merugikan negara.


Penolakan Normalisasi Pelanggaran merupakan penolakan tegas bahwa "gelar pahlawan tidak semestinya dijadikan alat untuk menormalisasi sarat pelanggaran" dan ungkapan "Soeharto bukan pahlawan kami, sama dengan negara menulis ulang luka sejarah" memperlihatkan adanya perlawanan terhadap upaya untuk membersihkan citra masa lalu tanpa akuntabilitas penuh


5. Polarisasi sentimen ini menunjukkan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan sekadar pengakuan sejarah, melainkan juga pertarungan narasi yang mendalam tentang identitas bangsa, keadilan, dan masa depan demokrasi. Adanya perbedaan yang signifikan antara media mainstream dan sebagian media sosial menggarisbawahi pentingnya melihatdinamika opini publik secara holistik, tidak hanya dari satu lensa.


6. Pemerintah dan pihak terkait seharusnya dapat mempertimbangkan kompleksitas sentimen ini. Keputusan yang diambil akan memiliki dampak jangka panjang terhadap cara masyarakat, khususnya generasi muda, memahami sejarah bangsa. Menormalisasi pelanggaran masa lalu berisiko melukai keadilan atau rekonsiliasi yang belum tuntas. Sebaliknya, sepenuhnya mengabaikan kontribusi juga bisa dituding memutarbalikkan sejarah.


7. Secara keseluruhan, sentimen publik mengenai gelar Pahlawan Soeharto mencerminkan ketegangan antara "memori kolektif" yang terfragmentasi, di mana satu sisi mengenang "kejayaan" pembangunan dan stabilitas, sementara sisi lain menuntut keadilan atas pelanggaran HAM dan korupsi. Keputusan akhir perlu merangkum kedua dimensi ini dengan bijaksana, memastikan bahwa nilai-nilai Pancasila dan konstitusi tetap menjadi panduan utama.


DEEP Inteligence Research 


**

Baca Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News

Berita Terbaru

Resmi! Monumen Panglima Besar Jenderal Soedirman Jadi Ikon Baru Kabupaten Bandung
Semangat Hari Pahlawan 2025, Ini yang Dilakukan PLN Icon Plus
Revitalisasi Tambak Andalan KKP Tingkatkan Produksi Perikanan
Analisis Sentimen Publik : Soeharto Jadi Pahlawan, Suara Netizen Terbelah
PT Azaki Food Internasional Inovasi Tempe yang Membanggakan Indonesia
Dari Kontroversi hingga Penghargaan Makna Pahlawan Nasional 2025
Joglosemar untuk Malaysia Strategi Famtrip Tingkatkan Kunjungan Wisatawan dan Pendapatan Negara
Mengakses Tanah dengan Mudah Peran Aplikasi Sentuh Tanahku dalam Era Digital
Kekaguman dan Komitmen Para Duta Besar Baru dan Masa Depan Hubungan Bilateral Indonesia
Kepercayaan Publik di Era Digital Kemdiktisaintek Raih Penghargaan TOP GPR Award 2025
Festival of Ideas 2025 Pendidikan sebagai Pilar Kolaborasi Global
Peran Penting Perguruan Tinggi dalam Kedaulatan Pangan Nasional
Masjid sebagai Ruang Publik Menjaga Keseimbangan antara Ibadah dan Kebutuhan Umat
Momentum Kolaborasi Lintas Kementerian dalam Transisi Kepemimpinan di Kemenko Perekonomian
Inovasi Maritim Kontribusi Kemitraan Indonesia-Rusia untuk Keberlanjutan Global 2025
KIPK Mendorong Produktivitas dan Daya Saing IKM di Pasar Global
IndoBuildTech & GAFA 2025 Memacu Inovasi dan Kompetensi Industri Nasional
Warga Talun Cimanggung Perbaiki Jalan Rusak Secara Swadaya, Beri Pesan Menohok untuk Pemerintah
Pemerintah Pastikan Sajian Makanan dalam Program Makan Bergizi Gratis Sudah Sesuai Standar
Sosialisasi Program Makan Bergizi Gratis Dorong Lahirkan SDM Unggul Menuju Generasi Emas Bangsa