NARASINETWORK.COM - Di tengah semarak keberagaman seni budaya di Indonesia muncul satu komunitas yang membawa nuansa segar dan mendalam dalam eksplorasi ekspresi seni bersama, Komunitas Interaksi Seni (KIS), yang didirikan oleh dua seniman berbakat, Frans dan Bei.
Berawal dari pertemuan di ikonik Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, komunitas ini telah berkembang menjadi wadah bagi seniman untuk saling berinteraksi, berbagi ide, dan menciptakan karya seni yang melampaui batasan genre dan tradisi.
Awal Mula Pertemuan di Tapak Sejarah Seni Jakarta
Seperti yang diungkapkan oleh kedua pendirinya melalui pesan terbaru, KIS berawal di Taman Ismail Marzuki, tempat yang telah lama menjadi markas bagi seniman Jakarta untuk berkumpul, berdiskusi, dan mengekspresikan diri.
Di sana, Frans dan Bei mulai membangun jaringan dengan sesama seniman, yang kemudian mengarah pada penciptaan karya seni kolaboratif yang beragam. Mulai dari teater, musikalisasi puisi, film, hingga tari, setiap karya yang dihasilkan merupakan cerminan dari interaksi antara berbagai gaya, latar belakang, dan pemikiran seniman yang terlibat.
"Kita tidak hanya membuat karya sendiri, tapi saling memberi nafas satu sama lain," ungkap kedua pendirinya dalam pesan. Konsep "interaksi seni" yang menjadi inti KIS bukan hanya sekadar bergabung dalam satu proyek, melainkan proses saling memahami, memengaruhi, dan menciptakan sesuatu yang baru bersama, di mana setiap seniman memberikan kontribusi unik yang memperkaya keseluruhan karya.
Saat ini, Frans dan Bei sedang dalam proses intensif latihan untuk sebuah pentas yang akan diadakan di situs megalitik Gunung Padang Cianjur, Jawa Barat. Tempat yang dikenal sebagai salah satu warisan budaya tertua di Indonesia ini dipilih tidak secara acak, melainkan sebagai upaya untuk menghubungkan karya seni mereka dengan akar sejarah dan alam yang mendalam.
Situs megalitik yang dipercaya berusia ribuan tahun itu diharapkan menjadi panggung yang memberikan nuansa spiritual dan filosofis bagi pertunjukan mereka, yang akan menggabungkan berbagai elemen seni dalam satu wacana yang utuh.
Proses latihan ini tidak hanya fokus pada teknis pertunjukan, tetapi juga pada pemahaman mendalam tentang konteks tempat. Frans dan Bei bersama seniman lain yang terlibat dalam proyek ini sedang meneliti nilai-nilai budaya yang terkandung di Gunung Padang, serta bagaimana elemen-elemen tersebut dapat diintegrasikan ke dalam karya mereka tanpa merusak keaslian warisan yang ada.
Perjalanan seni Frans sendiri sangat unik dan kaya pengalaman. Sejak kecil, ia tinggal di pinggiran Jakarta Utara meskipun berasal dari Sulawesi Utara, menjadikannya sosok yang "urban" dengan pandangan yang luas tentang budaya.
Ia awalnya mengenal musik tradisi pinggiran kota Jakarta, sebelum kemudian mendalami musik barat dengan memainkan berbagai alat seperti akordeon, saksofon, gitar, kibor, dan perkusi.
Selama perjalanannya, Frans mengkaji musik barat dari berbagai daerah di Eropa dan Amerika antara lain Spanyol, Portugal, Prancis, Rusia, Jerman, dan Amerika Barat yang semuanya memiliki jejak kaki teori Pitagoras dengan 13 nada diatonis.
Ia juga melacak perkembangan musik barat seiring waktu, mulai dari Gregorian abad pertengahan, Renaisans, Barok, Klasik, Romantik, hingga era Pintet dan Retro, yang kini berkembang ke arah musik tekno.
Namun, seiring bertambahnya pengalaman, Frans merasakan kejenuhan terhadap perkembangan musik barat yang semakin kompleks dalam susunan nada progresif namun terasa kurang bernuansa baru.
Hal ini membawanya untuk melihat ke arah musik Timur, yang ternyata memiliki keunikan dan kedalaman yang tak kalah. Ia menyadari bahwa budaya bermusik tidak selalu linier seperti yang terjadi di Barat contohnya, musik didgeridoo suku Aborigen Australia yang sudah ada ribuan tahun sebelum Masehi (tercatat dalam lukisan goa) dan masih berkembang sampai sekarang, digunakan untuk musik hiling, modern, dan kontemporer.
Di Indonesia sendiri, Frans melihat keberagaman musik yang luar biasa: gamelan dengan skala pelog dan slendro di Jawa, gong batu di daerah Timur, batu gamelan di Gunung Padang, singing bowl dan lonceng di Tibet, serta berbagai alat musik tradisional lainnya. Berdasarkan pemahaman ini, sejak tahun 2010 ia mulai mengumpulkan alat musik konvensional dan non-konvensional, kemudian menggabungkannya menjadi satu komposisi yang berada di luar teori musik barat yang kemudian diaplikasikan dalam karya musik teater, hiling, dan "musiko trafi" yang menjadi ciri khasnya.
Yang paling menarik dari eksplorasi musik Frans adalah konsep "musiko trafi", yang dimainkan dengan menggunakan skala Delta, Teta, Alfa, Beta, dan Gama. Menurutnya, frekuensi-frekuensi ini memiliki fenomena kosmik di mana frekuensi yang sama akan mengalami konektifitas.
Di dalam frekuensi kosmik ini juga terdapat solfegio, yang sering digunakan oleh para trapi dalam praktik mereka. Frekuensi ini biasanya terdapat pada alat musik ritual atau diciptakan sendiri dari berbagai bahan seperti batu, logam, kayu, dan lainnya.
Di era modern sekarang, teknologi digital telah memungkinkan pendeteksian frekuensi-frekuensi ini tidak hanya di alam semesta, tetapi juga pada benda-benda di Bumi. Frans memanfaatkan kemajuan ini untuk menciptakan komposisi yang tidak hanya menarik secara pendengaran, tetapi juga memiliki dampak spiritual dan emosional bagi pendengar. Konsep ini kemudian diintegrasikan ke dalam kegiatan KIS, di mana seniman lain juga diajak untuk mengeksplorasi hubungan antara musik, alam, dan energi kosmik dalam karya mereka.
Dengan latar belakang yang kaya dan ide-ide yang inovatif, Komunitas Interaksi Seni (KIS) Frans & Bei memiliki visi untuk menjadi jembatan antara berbagai budaya, genre seni, dan generasi. Mereka berharap dapat mengundang lebih banyak seniman dari berbagai latar belakang untuk bergabung, sehingga setiap karya yang dihasilkan menjadi cerminan dari keberagaman yang sebenarnya ada di Indonesia dan dunia.
Selain pentas di Gunung Padang, KIS juga merencanakan berbagai aktivitas di masa depan, antara lain lokakarya seni, pameran kolaboratif, dan pertukaran seniman dengan komunitas seni di dalam dan luar negeri. Semua ini bertujuan untuk memperluas wawasan seniman, mempromosikan seni kolaboratif, dan menciptakan ruang di mana ide-ide baru dapat tumbuh dan berkembang.
"Kita ingin menunjukkan bahwa seni tidak pernah berdiri sendiri ia selalu terhubung dengan kehidupan, sejarah, dan alam sekitar kita," ungkap Frans dan Bei. Melalui KIS, mereka berharap dapat menginspirasi orang lain untuk melihat seni dengan cara yang lebih luas dan mendalam, serta berpartisipasi dalam menciptakan karya seni yang bermakna dan berdaya guna bagi masyarakat.
